Surat
Iqra’ atau surat Al-‘Alaq adalah surat yang pertama kali diturunkan kepada
Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Surat tersebut adalah
surat Makkiyyah. Surat ini diturunkan lima ayat pertama terlebih dahulu.
Kemudian diturunkan ayat lainnya dari surat Al-‘Alaq berkenaan dengan Abu Jahl.
Demikian dijelaskan oleh Imam Al-Qurthubi dalam Al-Jami’ li Ahkam
Al-Qur’an, 20:75.
Allah Ta’ala berfirman,
اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ (1) خَلَقَ الْإِنْسَانَ
مِنْ عَلَقٍ (2) اقْرَأْ وَرَبُّكَ الْأَكْرَمُ (3) الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ
(4) عَلَّمَ الْإِنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ (5)
“Bacalah dengan (menyebut) nama Rabbmu Yang menciptakan, Dia
telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Rabbmulah Yang Maha
Pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantaran qalam (pena). Dia mengajar
kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.” (QS. Al-‘Alaq: 1-5)
Bacalah! Bacalah!
Surat
ini adalah yang pertama kali turun kepada Rasul shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Surat tersebut turun di awal-awal kenabian, yaitu saat beliau
diangkat menjadi nabi. Ketika itu beliau tidak tahu tulis menulis dan tidak
mengerti tentang iman. Lantas Jibril datang dengan membawa risalah atau wahyu.
Lalu Jibril memerintahkan nabi untuk membacanya, beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam enggan. Beliau berkata,
مَا أَنَا بِقَارِئٍ
“Aku
tidak bisa membaca.” (HR. Bukhari, no. 3). Beliau terus mengatakan seperti
itu sampai akhirnya beliau membacanya. Kemudian turunlah ayat,
اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ
“Bacalah
dengan (menyebut) nama Rabbmu Yang menciptakan.” Yang dimaksud menciptakan
di sini adalah menciptakan makhluk secara umum. Tetapi yang dimaksudkan secara
khusus di sini adalah manusia. Manusia diciptakan dari segumpal darah sebagaimana
disebut dalam ayat selanjutnya,
خَلَقَ الْإِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ
“Dia
telah menciptakan manusia dari segumpal darah.”
Manusia
tidak hanya diciptakan saja, namun ia juga diperintah dan dilarang. Untuk
menjelaskan perintah dan larangan tersebut diutuslah Rasul dan diturunkanlah
Al-Kitab (Al-Qur’an). Oleh karena itu, setelah menceritakan perintah untuk
membaca disebutkan mengenai penciptaan manusia.
Bentuk Kasih Sayang Allah: Diajarkan Ilmu
Setelah
itu, Allah memerintahkan,
اقْرَأْ وَرَبُّكَ الْأَكْرَمُ
“Bacalah,
dan Rabbmulah Yang Maha Pemurah.” Disebutkan bahwa Allah memiliki sifat
pemurah yang luas dan karunianya yang besar kepada makhluk-Nya.
Al-akram
sendiri bermakna memberi tanpa meminta atau menunggu balasan. Disebutkan oleh
Syaikh Musthafa Al-‘Adawi dalam At-Tashil li Ta’wil At-Tanzil – Tafsir
Juz ‘Amma, 2:428.
Di
antara bentuk karunia Allah kepada manusia–kata Syaikh As-Sa’di rahimahullah–adalah
Dia mengajarkan ilmu kepada manusia sebagaimana disebutkan dalam ayat selanjutnya,
الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ (4) عَلَّمَ الْإِنْسَانَ مَا لَمْ
يَعْلَمْ (5)
“Yang
mengajar (manusia) dengan perantaran qalam (pena). Dia mengajar kepada manusia
apa yang tidak diketahuinya.”
Mengajarkan
ilmu dengan qalam meliputi tiga hal: (1) memikirkan, (2) mengajarkan lafal
Al-Qur’an, (3) mengajarkan cara menulisnya. Lihat At-Tashil li Ta’wil
At-Tanzil – Tafsir Juz ‘Amma, 2:430.
Kata
Syaikh As-Sa’di rahimahullah, “Manusia dikeluarkan dari perut
ibunya ketika lahir tidak mengetahui apa-apa. Lalu Allah menjadikan baginya
penglihatan dan pendengaran serta hati sebagai jalan untuk mendapatkan ilmu.” (Tafsir
As-Sa’di, hlm. 976).
Allah
mengajarkan kepada manusia Al-Qur’an dan mengajarkan kepadanya hikmah, yaitu
ilmu. Allah mengajarkannya dengan qalam (pena) yang bisa
membuat ilmunya semakin lekat. Allah pun mengutus Rasul supaya bisa menjelaskan
kepada mereka. Alhamdulillah, atas berbagai nikmat ini yang sulit
dibalas dan disyukuri.
Manusia Didorong untuk Menulis, Lantas Kenapa
Nabi Tidak Belajar Menulis?
Ada dua
alasan penting:
- Agar Al-Qur’an
benar-benar jadi mukjizat, bukan buatan Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam.
- Supaya tidak
dikira beliau mengambil Al-Qur’an dengan cara menyalin dari kitab-kitab
sebelumnya.
Namun
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap memotivasi umatnya
untuk belajar menulis. Lihat At-Tashil li Ta’wil At-Tanzil – Tafsir Juz
‘Amma, 2:431.
Ibnu
Taimiyah rahimahullah mengingatkan bahwa keummian Nabi
Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bukanlah berarti beliau
tidak berilmu atau tidak bisa menghafal, bahkan Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam adalah imamnya para Nabi dalam hal itu. Disebut ummi
hanyalah karena beliau tidak bisa menulis dan tidak bisa membaca sesuatu yang
tertulis. (Majmu’ah Al-Fatawa, 25:172)
Al-Qur’an Turun Sebagai Kasih Sayang kepada
Manusia
Ibnu
Katsir rahimahullah berkata, “Al-Qur’an yang pertama kali
turun adalah ayat-ayat ini. Inilah rahmat dan nikmat pertama yang Allah berikan
kepada para hamba. Dalam awal surat tersebut terdapat pelajaran bahwa manusia
pertama tercipta dari ‘alaqah (segumpal darah). Di antara
bentuk kasih sayang Allah adalah ia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak
mereka ketahui.”
Keutamaan Ilmu
Ibnu
Katsir rahimahullah juga berkata, “Seseorang itu akan semakin
mulia dengan ilmu diin yang ia miliki. Ilmu itulah yang
membedakan bapak manusia, yaitu Adam dengan para malaikat. Ilmu ini terkadang
di pikiran. Ilmu juga kadang di lisan. Ilmu juga terkadang di dalam tulisan
tangan untuk menyalurkan apa yang dalam pikiran, lisan, maupun yang
tergambarkan di pikiran.”
Keutamaan Selalu Mengikat Ilmu dengan Tulisan
Dalam
atsar dari ‘Umar bin Al-Khatthab, ia berkata,
قَيِّدُوْا العِلْمَ بِالكِتَابَةِ
“Ikatlah
ilmu dengan tulisan.” (HR. Al-Hakim dalam Al-Mustadrak, 1:106.
Syaikh Al-Albani menyatakan bahwa hadits ini shahih dengan
berbagai jalan penguatnya, lihat Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah,
no. 2026).
Dalam
atsar lainnya juga disebutkan,
مَنْ عَمِلَ بِمَا عَلِمَ وَرَثَهُ اللهُ عِلْمَ مَا لَمْ يَكُنْ
يَعْلَمُ
“Barangsiapa
yang mengamalkan ilmu yang ia ketahui, maka Allah akan memberikan dia ilmu yang
ia tidak ketahui.” (HR. Abu Nu’aim dalam Hilyah Al-Auliya’,
10:14-15. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa riwayat ini maudhu’ atau
palsu. Lihat Silsilah Al-Ahadits Adh-Dha’ifah, no. 422)
Ya Allah, karuniakanlah kepada kami ilmu yang bermanfaat.
Referensi:
- Al-Jami’ li
Ahkam Al-Qur’an.
Cetakan pertama, Tahun 1428 H. Abu ‘Abdillah Muhammad bin Ahmad Al-Anshari
Al-Qurthubi. Penerbit Dar Al-Fikr;
- At-Tashil li
Ta’wil At-Tanzil – Tafsir Juz ‘Amma. Cetakan Kedua, Tahun 1424 H.
Syaikh Abu ‘Abdillah Musthafa bin Al-‘Adawi. Penerbit Maktabah Makkah;
- Majmu’ah
Al-Fatawa.
Cetakan Keempat Tahun 1432 H. Ahmad bin ‘Abdul Halim Al-Harrani (Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyyah). Penerbit Dar Ibnu Hazm-Darul Wafa’;
- Silsilah
Al-Ahadits Adh-Dha’ifah. Cetakan Kedua, Tahun 1420 H.
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani. Penerbit Maktabah Al-Ma’arif;
- Silsilah
Al-Ahadits Ash-Shahihah. Cetakan Kedua, Tahun 1415 H.
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani. Penerbit Maktabah Al-Ma’arif;
- Tafsir Al-Qur’an
Al-‘Azhim lil Imam Ibnu Katsir. Ibnu Katsir. Tahqiq: Prof. Dr.
Hikmat Basyir bin Yasin. Penerbit Dar Ibnul Jauzi;
- Tafsir As-Sa’di. Cetakan
kedua, Tahun 1433 H. Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di. Penerbit
Muassasah Ar-Risalah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar