Banyak manusia yang hidup di dunia ini menginginkan
kehidupan yang bebas dan tidak terkekang dengan berbagai aturan. Sampai-sampai
karena kuatnya keinginan ini mereka tidak lagi mengindahkan norma-norma agama,
sebab mereka menganggap agama sebagai belenggu semata.
Meskipun faktanya, kebebasan yang tanpa batas mustahil
terwujud di dunia ini. Karena perbuatan yang dilakukan oleh manusia sering
dipengaruhi oleh dorongan hawa nafsu, sehingga ketika seseorang meninggalkan
norma-norma agama otomatis dia akan terjerumus mengikuti aturan hawa nafsunya
yang dikendalikan oleh setan, dan ini merupakan sumber malapetaka terbesar bagi
dirinya. Karena hawa nafsu manusia selalu menggiring kepada keburukan dan
kerusakan, sebagaimana firman Allah Ta’ala,
{إِنَّ النَّفْسَ لأمَّارَةٌ بِالسُّوءِ إِلا مَا رَحِمَ رَبِّي}
“Sesungguhnya nafsu (manusia) itu selalu menyuruh
kepada keburukan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Rabbku” (QS
Yuusuf:53).
Dan firman-Nya,
{وَلَوِ اتَّبَعَ الْحَقُّ أَهْوَاءَهُمْ لَفَسَدَتِ السَّمَوَاتُ
وَالأرْضُ وَمَنْ فِيهِنَّ بَلْ أَتَيْنَاهُمْ بِذِكْرِهِمْ فَهُمْ عَنْ
ذِكْرِهِمْ مُعْرِضُونَ}
“Andaikata kebenaran itu menuruti hawa nafsu manusia,
maka pasti binasalah langit dan bumi serta semua yang ada di dalamnya.
Sebenarnya Kami telah mendatangkan kepada mereka peringatan (untuk) mereka
(al-Qur’an) akan tetapi mereka berpaling dari peringatan tersebuat” (QS
al-Mu’minuun:71).
Juga firman-Nya,
{وَلا تُطِعْ مَنْ أَغْفَلْنَا قَلْبَهُ عَنْ ذِكْرِنَا وَاتَّبَعَ
هَوَاهُ وَكَانَ أَمْرُهُ فُرُطاً}
“Dan janganlah kamu mengikuti orang yang telah kami
lalaikan hatinya dari mengingat Kami, serta menuruti hawa (nafsu)nya, dan
(semua) urusannya menjadi rusak/buruk” (QS al-Kahfi:28).
Arti Kebebasan yang Hakiki
Berdasarkan keterangan di atas, maka kebebasan hakiki yang
mendatangkan kebahagiaan dan kesenangan hidup bagi manusia tidak
mungkin dicapai dengan meninggalkan norma-norma agama, bahkan sebaliknya
ini merupakan kesempitan hidup dan belenggu yang sebenarnya, sebagaimana yang
terungkap dalam firman-Nya:
{وَمَنْ أَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنْكاً
وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَى}
“Dan barangsiapa yang berpaling dari peringatan-Ku,
maka sesungguhnya dia (akan merasakan) kehidupan yang sempit (di dunia)[1],
dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta” (QS
Thaaha:124).
Imam asy-Syaukani rahimahullah berkata,
“Makna ayat ini: Sesungguhnya Allah Ta’ala menjadikan
(memberikan balasan) bagi orang yang mengikuti petunjuk-Nya dan berkomitmen
dengan agama-Nya dengan kehidupan yang (penuh) kenikmatan di dunia, tanpa ada
kesedihan, kegundahan dan kesusahan (dalam) dirinya…Dan Dia menjadikan
(memberikan balasan) bagi orang yang enggan mengikuti petunjuk-Nya dan
berpaling dari agama-Nya dengan kehidupan yang sempit serta (penuh dengan)
kepayahan dan penderitaan (di dunia). Bersamaan dengan semua penderitaan yang
menimpanya di dunia, di akhirat (kelak) dia akan (merasakan) penderitaan, kepayahan
dan kesempitan hidup yang lebih berat lagi”[2].
Sebaliknya, Allah Ta’ala menegaskan bahwa
kebahagiaan hidup yang hakiki hanyalah akan dirasakan oleh orang yang berkomitmen
dengan agama-Nya dan tunduk kepada hukum-hukum syariat-Nya. Allah Ta’ala berfirman,
{مَنْ عَمِلَ صَالِحاً مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ
فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ
مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ}
“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik
laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami
berikan kepadanya kehidupan yang baik (di dunia), dan sesungguhnya akan Kami
berikan balasan kepada mereka (di akhirat) dengan pahala yang lebih baik dari
apa yang telah mereka kerjakan” (QS. an-Nahl:97).
Para ulama salaf menafsirkan makna “kehidupan yang baik
(di dunia)” dalam ayat di atas dengan “kebahagiaan (hidup)” atau “rezki yang
halal dan baik” dan kebaikan-kebaikan lainnya yang mencakup semua kesenangan
hidup yang hakiki[3].
Sebagaimana Allah Ta’ala menjadikan kelapangan dada dan
ketenangan jiwa dalam menerima syariat Islam merupakan ciri orang yang mendapat
petunjuk dari-Nya, dan kesempitan serta terbelenggunya jiwa merupakan pertanda
orang yang tersesat dari jalan-Nya. Allah Ta’ala berfirman,
{فَمَنْ يُرِدِ اللَّهُ أَنْ يَهدِيَهُ يَشْرَحْ صَدْرَهُ
لِلإسْلامِ وَمَنْ يُرِدْ أَنْ يُضِلَّهُ يَجْعَلْ صَدْرَهُ ضَيِّقًا حَرَجًا
كَأَنَّمَا يَصَّعَّدُ فِي السَّمَاءِ كَذَلِكَ يَجْعَلُ اللَّهُ الرِّجْسَ عَلَى
الَّذِينَ لا يُؤْمِنُونَ}
“Barangsiapa yang Allah menghendaki akan memberikan
kepadanya petunjuk, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk (menerima agama) Islam.
Dan barangsiapa yang dikehendaki Allah kesesatannya, niscaya Allah menjadikan
dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah ia sedang mendaki kelangit. Begitulah
Allah menimpakan keburukan/siksa kepada orang-orang yang tidak beriman” (QS
al-An’aam:125).
Maka melepaskan diri dari aturan-aturan agama Islam dengan
dalih kebebasan berarti justru menjebloskan diri kedalam
penjara hawa nafsu dan belenggu setan yang akan mengakibatkan kesengsaraan dan
penderitaan berkepanjangan di dunia dan akhirat.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengungkapkan hal ini dengan
bahasa yang indah dalam ucapan beliau,
“المحبوسُ مَنْ حُبِسَ قَلْبُه عن رَبِّهِ تعالى والمأسورُ مَنْ
أَسِرَه هواه”
“Orang yang dipenjara adalah orang yang terpenjara
(terhalangi) hatinya dari Rabb-nya (Allah) Ta’ala, dan orang yang
tertawan (terbelenggu) adalah orang yang ditawan oleh hawa nafsunya”[4].
Dalam hal ini, para ulama mengumpamakan kebutuhan manusia
terhadap petunjuk Allah Ta’ala dalam agama-Nya adalah seperti kebutuhan ikan
terhadap air[5].
Maka jika demikian apakah mungkin dikatakan kebebasan hidup bagi ikan adalah
jika terlepas dari air, padahal sudah diketahui bahwa tidak mungkin ikan akan
bertahan hidup tanpa air?.
Tauhid Membebaskan Manusia dari Penghambaan Diri
kepada Makhluk
Landasan utama Islam, tauhid, yang berarti pemurnian
ibadah dan penghambaan diri kepada Allah Ta’ala semata dan berpaling dari
penghambaan diri kepada selain-Nya, adalah bukti terbesar yang menunjukkan
adanya kebebasan yang hakiki dalam Islam.
Betapa tidak, orang yang benar-benar meyakini dan
mengamalkan tauhid dalam hidupnya, maka dia akan terlepas dari semua belenggu
penghambaan diri kepada makhluk yang tidak punya kemampuan untuk memberikan
manfaat maupun bahaya kepada dirinya, untuk menuju kepada penghambaan diri
kepada Allah Ta’ala, yang di tangan-Nyalah segala kebaikan, dan Dialah
satu-satunya pencipta, pemberi rezki dan pengatur alam semesta ini.
Inilah makna ucapan sahabat yang mulia Rib’iy bin ‘Amir
ketika ditanya oleh salah seorang pembesar kafir, “(Seruan dakwah) apakah yang
kalian bawa?”. Maka beliau menjawab: “Allah yang mengutus kami untuk
mengeluarkan (membebaskan) siapa yang dikehendaki-Nya dari penghambaan diri
kepada makhluk kepada penghambaan diri kepada-Nya (semata), dan dari kesempitan
(belenggu) dunia kepada kelapangannya, serta dari kezhaliman (aturan)
agama-agama (lain) kepada keadilan Islam”[6].
Di samping itu, setiap manusia terlahir dengan
kecenderungan untuk menghambakan diri dan tunduk kepada sesuatu, maka jika
kecenderungan ini tidak diarahkan kepada penghambaaan diri yang benar, yaitu
kepada Allah Ta’ala, maka dengan sendirinya setanlah yang akan menggiringnya
menjadi hamba bagi hawa nafsunya. Allah Ta’ala berfirman,
{أَفَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلَهَهُ هَوَاهُ وَأَضَلَّهُ اللَّهُ
عَلَى عِلْمٍ وَخَتَمَ عَلَى سَمْعِهِ وَقَلْبِهِ وَجَعَلَ عَلَى بَصَرِهِ
غِشَاوَةً فَمَنْ يَهْدِيهِ مِنْ بَعْدِ اللَّهِ أَفَلا تَذَكَّرُونَ}
“Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa
nafsunya sebagai sembahannya dan Allah menjadikannya tersesat berdasarkan
ilmu-Nya, dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan
tutupan atas penglihatannya. Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk
sesudah Allah (membiarkannya sesat)?. Maka mengapa kamu tidak mengambil
pelajaran” (QS al-Jaatsiyah:23).
Makna ayat ini: pernahkah kamu melihat orang yang
menjadikan agamanya (apa yang sesuai) dengan hawa nafsunya, sehingga tidaklah
dia menyukai sesuatu (menurut hawa nafsunya) kecuali dia akan mengikutinya.
Karena dia tidak beriman kepada Allah, tidak mengharamkan apa yang
diharamkan-Nya dan tidak menghalalkan apa yang dihalalkan-Nya. (Cara)
beragamanya adalah apa yang diinginkan oleh hawa nafsunya maka itulah yang
dikerjakannya[7].
Kerancuan dan Jawabannya
Orang-orang yang berpenyakit dalam hatinya berusaha
mencari-cari dalih untuk mendiskreditkan Islam dan mengesankan bahwa
aturan-aturan syariat Islam adalah belenggu yang mengekang kebebasan manusia.
Padahal kalau diperhatikan dengan seksama semua dalih yang mereka kemukakan
justru membantah pemahaman mereka dan bukan mendukungnya[8].
Di antara dalih yang mereka kemukakan adalah sabda
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mereka pahami
dengan keliru:
– “Dunia ini adalah penjara (bagi) orang yang beriman dan
surga (bagi) orang kafir”[9].
Jawab: Penafsiran yang benar dari hadits ini ada
dua – seperti kata Ibnul Qayyim dalam kitab beliau “Badaai’ul fawaaid” (3/696)
–, yaitu:
1- Orang yang beriman di dunia ini, keimanannya yang kuat
menghalangi dia untuk memperturutkan nafsu syahwat yang diharamkan oleh
Allah Ta’ala, sehingga dengan keadaan ini seolah-olah dia hidup
dalam penjara. Atau dengan kata lain: dunia ini adalah tempat orang yang
beriman memenjarakan hawa nafsunya dari perbuatan-perbuatan yang diharamkan
oleh Allah Ta’ala, berbeda dengan orang kafir yang hidup bebas
memperturutkan nafsu syahwatnya[10].
2- Makna: “Dunia ini adalah penjara (bagi) orang yang
beriman dan surga (bagi) orang kafir”, adalah jika dibandingkan dengan
keadaan/balasan orang yang beriman dan orang kafir di akhirat nanti, karena
orang yang beriman itu meskipun hidupnya di dunia paling senang dan bahagia,
tetap saja keadaan tersebut seperti penjara jika dibandingkan dengan besarnya
balasan kebaikan dan kenikmatan yang Allah Ta’ala sediakan baginya
di surga di akhirat kelak. Dan orang kafir meskipun hidupnya di dunia paling
sengsara dan menderita, tetap saja keadaan tersebut seperti surga jika
dibandingkan dengan pedihnya balasan keburukan dan siksaan yang Allah Ta’ala akan
timpakan kepadanya di neraka di akhirat nanti[11].
Maka jelaslah hadits ini sama sekali tidak menunjukkan apa
yang mereka tuduhkan terhadap Islam, bahkan sebaliknya hadits ini menjelaskan
dengan gamblang keindahan syariat Islam.
– Mereka juga berdalih dengan beberapa hukum dalam syariat
Islam, seperti kewajiban memakai jilbab (pakaian yang menutupi semua aurat
secara sempurna[12])
bagi perempuan muslimah ketika berada di luar rumah. Mereka mengatakan bahwa
jilbab merupakan belenggu yang mengekang kebebasan kaum perempuan.
Jawab: Hikmah besar diwajibkannya hijab bagi
perempuan adalah justru untuk membebaskan dan menyelamatkan
mereka dari gangguan dan kejahatan orang-orang yang mempunyai keinginan buruk,
sebagaimana firman Allah Ta’ala,
{يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لأزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ
الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ
يُعْرَفْنَ فَلا يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا}
“Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak
perempuanmu, dan istri-istri orang mukmin agar hendaklah mereka mengulurkan
jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah
untuk dikenal, sehingga mereka tidak diganggu/disakiti. Dan Allah adalah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS al-Ahzaab:59).
Syaikh Abdurrahman as-Sa’di berkata, “Ini menunjukkan
bahwa gangguan (bagi wanita dari orang-orang yang berakhlak buruk) akan timbul
jika wanita itu tidak mengenakan jilbab (yang sesuai dengan syariat). Hal ini
dikarenakan jika wanita tidak memakai jilbab, boleh jadi orang akan menyangka
bahwa dia bukan wanita yang ‘afifah (terjaga kehormatannya),
sehingga orang yang ada penyakit (syahwat) dalam hatiya akan mengganggu dan
menyakiti wanita tersebut, atau bahkan merendahkan/melecehkannya… Maka dengan
memakai jilbab (yang sesuai dengan syariat) akan mencegah (timbulnya)
keinginan-keinginan (buruk) terhadap diri wanita dari orang-orang yang
mempunyai niat buruk”[13].
– Dalih lain yang mereka gunakan adalah kewajiban memasang
hijab/tabir untuk melindungi perempuan dari pandangan laki-laki yang bukan
mahramnya. Mereka mengatakan bahwa ini semua merupakan belenggu yang mengekang
kebebasan kaum perempuan.
Jawab: Hikmah agung kewajiban memasang
hijab/tabir adalah justru untuk membebaskan laki-laki dan
perempuan yang beriman dari kekotoran hati dan fitnah (kerusakan) yang mungkin
timbul tanpa adanya hijab/tabir. Maka adanya hijab/tabir antara laki-laki dan
perempuan bertujuan untuk menjaga kesucian hati mereka.
Allah Ta’ala berfirman,
{وَإِذَا سَأَلْتُمُوهُنَّ مَتَاعًا فَاسْأَلُوهُنَّ مِنْ وَرَاءِ
حِجَابٍ ذَلِكُمْ أَطْهَرُ لِقُلُوبِكُمْ وَقُلُوبِهِنَّ}
“Dan apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada
mereka (isteri-isteri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir. Cara yang
demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka” (QS al-Ahzaab:53).
Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu syaikh berkata, “(Dalam
ayat ini) Allah menyifati hijab/tabir sebagai kesucian bagi hatinya orang-orang
yang beriman, laki-laki maupun perempuan, karena mata manusia kalau tidak
melihat (sesuatu yang mengundang syahwat, karena terhalangi hijab/tabir) maka
hatinya tidak akan berhasrat (buruk). Oleh karena itu, dalam kondisi ini hati
manusia akan lebih suci, sehingga (peluang) tidak timbulnya fitnah (kerusakan)
pun lebih besar, karena hijab/tabir benar-benar mencegah (timbulnya)
keinginan-keinginan (buruk) dari orang-orang yang ada penyakit (dalam) hatinya”[14].
Penutup
Tulisan ringkas ini semoga bermanfaat bagi kaum muslimin
untuk menyadarkan mereka hakekat keindahan ajaran Islam yang diturunkan untuk
kemaslahatan hidup manusia, sedangkan semua ajakan yang menyimpang dari ajaran
Islam pada akhirnya akan menjerumuskan ke dalam lembah kesengsaraan dan
penderitaan berkepanjangan di dunia dan akhirat.
Ya Allah, jadikanlah kami
cinta kepada keimanan
dan jadikanlah iman itu
indah dalam hati kami
serta jadikanlah kam benci
kepada kekefiran, kefasikan dan kemaksiatan
dan jadikanlah kami termasuk
orang-orang yang mengikuti jalan yang lurus.
وصلى الله وسلم وبارك على
نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين
Kota Kendari, 18 Jumadal ula 1431 H
Penulis: Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni, MA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar