Bismillah
wash shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba’du:
Berdakwah
mengajak manusia kepada Allah adalah jalan yang ditempuh oleh Nabi
Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para pengikutnya,
sebagaimana firman Allah Ta’ala,
قُلْ
هَذِهِ سَبِيلِي أَدْعُوا إِلَى اللهِ عَلَى بَصِيرَةٍ أَنَاوَمَنِ اتَّبَعَنِي
وَسُبْحَانَ اللهِ وَمَآأَنَا مِنَ الْمُشْرِكِين
“Katakanlah,
“Inilah jalanku (agamaku). Aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu)
kepada Allah dengan hujjah yang nyata. Mahasuci Allah, dan aku tiada termasuk
orang-orang yang musyrik” (Yusuf:108).
Bahkan
berdakwah mengajak manusia kepada Allah adalah tugas para Rasul ‘alaihimush
shalatu was salam dan pengikut mereka semuanya guna mengeluarkan manusia
dari kegelapan kepada cahaya, dari kekufuran kepada keimanan, dari kesyirikan
kepada Tauhid dan dari Neraka kepada Surga. Sedangkan manhaj para
Nabi ‘alaihimus salam dalam berdakwah maksudnya adalah metode
yang jelas ditempuh oleh para Nabi ‘alaihimush shalatu was salam dalam
berdakwah kepada Allah.
Mereka
menyelesaikan berbagai problematika umat mereka dengan manhaj dakwah tersebut.
Berbagai permasalahan umat yang mereka hadapi, baik itu perekonomian, kerusakan
moral sampai masalah politik mereka hadapi dengan menggunakan manhaj yang sama,
yaitu manhaj dakwah yang berasal dari Rabb mereka Allah ‘azza
wa jalla.
Ingatlah
wahai sobat, ketika sebuah dakwah yang ditegakkan dalam rangka menyelesaikan
problematika umat itu sesuai dengan manhaj para Nabi ‘alaihimush
shalatu was salam –paling utamanya adalah Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam- dan berdiri di atas pilar dakwah mereka, maka
dakwah tersebut akan diterima oleh Allah dan diberkahi, sehingga menghasilkan
buah yang sesuai dengan apa yang Allah ridhai.
Pilar-Pilar Dakwah Para Nabi ‘alaihimush
shalatu was salam
Dakwah
para Nabi ‘alaihimush shalatu was salam berdiri di atas
pilar-pilar yang kokoh, jika salah satu pilar tersebut tidak ada, maka tidaklah
sebuah dakwah dikatakan sebagai dakwah yang benar dan tidak akan membuahkan
buah yang diharapkan dengan sempurna, walaupun dikerahkan berbagai upaya keras
dan dihabiskan waktu yang lama untuk dakwah tersebut, sebagaimana hal ini
terjadi dalam kenyataan pada banyak gerakan dakwah masa kini yang dakwah mereka
tidak terbangun di atas pilar-pilar dakwah para Nabi ‘alaihimush
shalatu was salam tersebut.
Berikut
inilah pilar-pilar dakwah Para Nabi ‘alaihimush shalatu was salam,
1. Berilmu terhadap apa yang didakwahkan
Adapun
orang yang tak berilmu, tidaklah layak menjadi da’i. Allah Ta’ala berfirman
kepada Nabi-Nya,
قُلْ
هَذِهِ سَبِيلِي أَدْعُوا إِلَى اللهِ عَلَى بَصِيرَةٍ أَنَاوَمَنِ اتَّبَعَنِي
وَسُبْحَانَ اللهِ وَمَآأَنَا مِنَ الْمُشْرِكِين
“Katakanlah,
“Inilah jalanku (agamaku). Aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu)
kepada Allah dengan hujjah yang nyata. Mahasuci Allah, dan aku tiada termasuk
orang-orang yang musyrik” (Yusuf:108).
Dan
yang dimaksud basirah dalam ayat ini adalah ilmu. Jadi seorang
da’i haruslah berilmu tentang materi dakwahnya, keadaan mad’u, dan tata cara
berdakwah. Karena sesungguhnya para da’i biasanya menghadapi ulama sesat yang
akan melancarkan serangan syubhat kepadanya dan mendebatnya dengan kebathilan
untuk membantah Al-Haq. Allah berfirman:
ادْعُ
إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ ۖ
وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ ۚ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ
ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ ۖ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ
“Serulah
(manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan
bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih
mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih
mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk” (An-Nahl:125).
Dalam
ayat ini, Allah perintahkan seorang da’i yang berdakwah dengan hikmah dan
pelajaran yang baik serta membantah dengan baik orang yang merasa dirinya benar
padahal salah atau orang yang mengajak kepada kebatilan ataupun melancarkan
syubhat. Tidaklah hal-hal itu semua bisa dilakukan dalam berdakwah kecuali
dengan ilmu. Dalil tentang hal ini juga terdapat dalam sabda Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam kepada Mu’adz radhiyallahu ‘anhu:
إِنَّكَ
تَأْتِي قَوْمًا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ، فَلْيَكُنْ أَوَّلَ مَا تَدْعُوْهُمْ
إِلَيْهِ شَهَادَةُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ
“Sesungguhnya
engkau akan mendatangi suatu kaum dari Ahli Kitab. Maka dari itu, jadikanlah
yang pertama kali engkau sampaikan kepada mereka adalah syahadat bahwa tidak
ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah (menauhidkan Allah)” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Dalam
hadits yang mulia ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika
akan mengutus Mu’adz untuk berdakwah ke negeri Yaman, beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam memberitahukan kepada Mu’adz radhiyallahu
‘anhu keadaan penduduk yang akan didakwahi dan materi yang harus
disampaikannya dalam mendakwahi mereka. Ini berarti hakikatnya Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam mengajarkan kepada kita bahwa seorang da’i haruslah
berilmu tentang materi yang harus disampaikan dan keadaan orang yang akan
didakwahi.
Renungan:
1.
Kenyataan yang ada, banyak kerusakan ataupun kesalahan
yang timbul di medan dakwah. Penyebabnya adalah sangat kurangnya ilmu yang
dimiliki oleh sebagian orang yang mendudukkan dirinya sebagai da’i. Baik
kesalahan ilmu itu dalam masalah menentukan materi dakwah apa yang pertama dan
diutamakan untuk disampaikan, sebagai solusi problematika umat, maupun
kesalahan ilmu dalam masalah mendiagnosa penyakit umat yang terbesar yang harus
diobati terlebih dahulu. Demikian juga kesalahan ilmu dalam memahami perkara
apa yang menyebabkan jayanya sebuah umat.
2.
Ilmu yang dimaksud di atas adalah ilmu yang diajarkan
oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada para
sahabatnya, lalu diterima oleh Tabi’in kemudian Tabi’ut Tabi’in sampai ulama
kita di zaman ini yang mengikuti para Sahabat radhiyallahu
‘anhum dengan baik. Jadi bukanlah sembarang ilmu yang ditafsirkan
secara bebas oleh setiap pemimpin kelompok gerakan dakwah.
-==========================================
Bismillah wash shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba’du, Ingatlah wahai Sobat, ketika sebuah dakwah yang ditegakkan dalam rangka menyelesaikan problematika umat itu sesuai dengan manhaj para Nabi ‘alaihimush shalatu was salam –paling utamanya adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam- dan berdiri di atas pilar-pilar dakwah mereka, maka dakwah tersebut akan diterima oleh Allah dan diberkahi, sehingga menghasilkan buah yang sesuai dengan apa yang Allah ridhai. Inilah kelanjutan penjelasan pilar-pilar dakwah para Nabi ‘alaihimush shalatu was salam yang sebagiannya telah ditulis pada artikel sebelumnya.
Bismillah wash shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba’du, Ingatlah wahai Sobat, ketika sebuah dakwah yang ditegakkan dalam rangka menyelesaikan problematika umat itu sesuai dengan manhaj para Nabi ‘alaihimush shalatu was salam –paling utamanya adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam- dan berdiri di atas pilar-pilar dakwah mereka, maka dakwah tersebut akan diterima oleh Allah dan diberkahi, sehingga menghasilkan buah yang sesuai dengan apa yang Allah ridhai. Inilah kelanjutan penjelasan pilar-pilar dakwah para Nabi ‘alaihimush shalatu was salam yang sebagiannya telah ditulis pada artikel sebelumnya.
2. Beramal dengan Apa yang Didakwahkan
Seorang
da’i bisa menjadi tauladan yang baik di tengah masyarakatnya, perbuatannya pun
sesuai dengan ucapannya dan tidak ada celah bagi orang-orang yang batil untuk
mencelanya. Allah berfirman tentang Nabi-Nya Syu’aib ‘alaihis salam bahwasanya
dia berkata kepada kaumnya,
وَمَا
أُرِيدُ أَنْ أُخَالِفَكُمْ إِلَىٰ مَا أَنْهَاكُمْ عَنْهُ ۚ إِنْ أُرِيدُ إِلَّا
الْإِصْلَاحَ مَا اسْتَطَعْتُ ۚ وَمَا تَوْفِيقِي إِلَّا بِاللَّهِ ۚ عَلَيْهِ
تَوَكَّلْتُ وَإِلَيْهِ أُنِيبُ
“Dan
aku tidak ingin menyelisihi kalian (dengan mengerjakan) apa yang aku larang
(sendiri). Aku tidak bermaksud kecuali (mendatangkan) perbaikan selama aku
masih berkesanggupan. Dan tidak ada taufik bagiku melainkan dengan
(pertolongan) Allah. Hanya kepada Allah lah aku bertawakkal dan hanya
kepada-Nya-lah aku kembali” (Huud:
88).
Perhatikanlah
saudaraku! Bagaimana Nabi Syu’aib ‘alaihis salam dalam
berdakwah, beliau menyampaikan kepada kaumnya bahwa tidaklah beliau melarang
kaumnya dari melakukan sesuatu melainkan beliau menjadi orang yang pertama kali
meninggalkan larangan tersebut sehingga beliau menjadi teladan di tengah-tengah
kaumnya dalam mengamalkan syari’at Allah Ta’ala.
Renungan:
Ketika
seorang da’i atau lembaga dakwah melupakan pilar amal ini dan terjebak dengan
sikap basa-basinya politik praktis orang-orang kafir ataupun tergoda dengan
iming-iming jabatan politis yang menggiurkan dan keindahan duniawi yang
menyertainya, maka sangat dikhawatirkan terjerumus dalam fitnah kemunafikan
politis, fitnah harta, tahta dan wanita. Camkanlah!
3. Ikhlash, yaitu Dakwah yang Dia Jalankan Semata-mata
untuk Mencari Wajah Allah
Dakwah
bukanlah sarana untuk riya` (pamer amal shalih berupa gerakan), sum’ah (pamer
amal shalih berupa suara, seperti baca Al-Qur’an), ingin ketinggian status
sosial, mengincar kedudukan/jabatan ataupun rakus terhadap dunia. Kalau
dakwahnya tercampuri dengan sesuatu dari tujuan-tujuan tersebut, maka dakwahnya
bukan untuk Allah tetapi untuk dirinya atau untuk ketamakan yang dia inginkan.
Dalil tentang hal ini adalah bahwa Allah memberitahukan tentang keikhlasan para
Nabi-Nya dalam berdakwah, mereka berkata kepada ummatnya:
قُلْ
لَا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ أَجْرًا
“Katakanlah:
Aku tidak meminta upah kepada kalian” (Al-An’aam: 90).
يَا
قَوْمِ لَا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ مَالًا ۖ إِنْ أَجْرِيَ إِلَّا عَلَى اللَّهِ
“Wahai
kaumku, aku tidak meminta harta kepada kalian (sebagai upahku). Ganjaran
(yang aku harapkan) hanyalah dari Allah” (Huud:29).
Renungan:
1.
Jika seorang da’i itu ikhlas dan bertauhid serta
mengajak manusia untuk ikhlas dan bertauhid, menunaikan hak-hak Allah serta
melaksanakan kewajibannya sebagai hamba-Nya, dengan mengenal nama dan sifat-Nya
dan beribadah kepada-Nya semata, maka akan tumbuh sebuah masyarakat yang Allah
janjikan untuknya kemuliaan dan kejayaan, karena mereka beriman, bertauhid,
jauh dari kesyirikan dan beramal shalih, sebagaimana yang disebutkan dalam
surat An-Nuur: 55, Allah Ta’ala berfirman:
وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَعَمِلُوا
الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي الْأَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ
مِنْ قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي ارْتَضَىٰ لَهُمْ
وَلَيُبَدِّلَنَّهُمْ مِنْ بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًا ۚ يَعْبُدُونَنِي لَا
يُشْرِكُونَ بِي شَيْئًا ۚ وَمَنْ كَفَرَ بَعْدَ ذَٰلِكَ فَأُولَٰئِكَ هُمُ
الْفَاسِقُونَ
“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang
beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia
sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di muka bumi sebagaimana Dia
telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan
meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia
benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan
menjadi aman sentausa. Mereka tetap menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan
sesuatu apapun dengan Aku. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji)
itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik”.
2.
Da’i yang ikhlas senantiasa memperhatikan apa yang
Allah ridhai dan cintai, maka ia tidak mau mengikuti hawa nafsunya atau
mengikuti keinginan kelompok, lembaga atau partainya jika bertentangan dengan
keridhaan Allah dalam menyelesaikan problematika umat ini. Maka hasilnya, da’i
yang ikhlas dalam berdakwah akan mendahulukan apa yang didahulukan Allah dan
Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam rangka menggapai
ridha-Nya semata.
3.
Adapun da’i yang tidak ikhlas, maka dia menjadikan
kemauan masyarakat atau nafsu kelompok, lembaga atau partainya sebagai
kiblatnya, walaupun harus terluput darinya ridha Rabbnya. Apalagi
yang diperjuangkan dalam dakwahnya adalah sesuatu yang hawa nafsu manusia
berselera dengannya, berupa harta, tahta maupun kenikmatan duniawi yang
lainnya.
========================================
Bismillah
wash shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba’du: Anda mengharapkan dakwah yang Anda lakukan dapat
memberikan solusi problematika umat saat ini?
Jika
Anda menginginkan penyelesaian problem umat, maka jawabannya adalah sesuaikan
dakwah Anda dengan manhaj para Nabi ‘alaihimush shalatu was salam –paling
utamanya adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam– dan
bangunlah dakwah Anda di atas pilar-pilar dakwah mereka.
Akan
tetapi, jika Anda menelantarkan pilar-pilar dakwah mereka, maka tidaklah dakwah
Anda dikatakan sebagai dakwah yang benar dan tidak akan membuahkan buah yang
diharapkan dengan sempurna, walaupun Anda kerahkan berbagai upaya keras dan
Anda habiskan waktu yang lama untuk berdakwah, serta walaupun Anda berhasil
mengumpulkan masa pendukung yang banyak!
Hakikatnya
kesuksesan dakwah yang hakiki tidaklah ditentukan oleh banyaknya pengikut
semata, namun ditentukan dari sisi keikhlasan Anda dan kesesuaian dakwah Anda
dengan dakwah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Berikut
ini kelanjutan penjelasan pilar-pilar dakwah para Nabi ‘alaihimush
shalatu was salam dalam artikel ketiga.
4. Memulai dengan yang paling penting kemudian yang
paling penting sesudahnya
Yaitu
pertama kali memulai kepada perbaikan aqidah/keyakinan dengan memerintahkan
manusia agar mengikhlaskan ibadah hanya kepada Allah semata (Tauhid) dan
melarang dari kesyirikan kemudian memerintahkan untuk menegakkan shalat,
menunaikan zakat, mengerjakan kewajiban-kewajiban, dan meninggalkan hal-hal
yang diharamkan.
Dan
dakwah Tauhid ini merupakan jalannya semua Rasul ‘alaihimush shalatu
was salam, sebagaimana firman Allah :
وَلَقَدْ
بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولًا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا
الطَّاغُوتَ
“Dan
sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan):
Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu” (An-Nahl: 36).
Dalam
sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada
Mu’adz radhiyallahu ‘anhu, ketika beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam mengutusnya berdakwah ke Yaman, terdapat pelajaran
besar tentang skala prioritas dalam menyampaikan materi dakwah, beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّكَ
تَأْتِي قَوْمًا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ، فَلْيَكُنْ أَوَّلَ مَا تَدْعُوْهُمْ
إِلَيْهِ شَهَادَةُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ ، فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوْكَ
لِذَلِكَ فَأَعْلِمْهُمْ أَنَّ اللهَ افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ خَمْسَ صَلَوَاتٍ فِي
كُلِّ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ، فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوْكَ لِذَلِكَ فَأَعْلِمْهُمْ أَنَّ
اللهَ افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ صَدَقَةً تُؤْخَذُ مِنْ أَغْنِيَائِهِمْ فَتُرَدُّ
عَلَى فُقَرَائِهِمْ
“Sesungguhnya
engkau akan mendatangi suatu kaum dari Ahli Kitab. Maka dari itu, jadikanlah
yang pertama kali engkau sampaikan kepada mereka adalah syahadat bahwa tidak
ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah (mentauhidkan Allah), apabila
mereka telah mentaatimu dalam hal ini maka ajari mereka bahwa Allah telah
mewajibkan shalat lima waktu kepada mereka. Apabila mereka telah mentaatimu
dalam hal ini maka ajari mereka bahwa Allah telah mewajibkan zakat kepada
mereka yang diambil dari kalangan orang kaya di antara mereka serta diberikan
kepada orang-orang fakir dari kalangan mereka”(HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Dalam
hadits yang mulia ini, terdapat beberapa pelajaran sebagai berikut:
1.
Termasuk ilmu yang harus diketahui oleh seorang da’i
adalah tentang skala prioritas dalam berdakwah, yaitu mendahulukan perkara yang
terpenting kemudian yang terpenting berikutnya.
2.
Tauhid adalah perkara terpenting yang harus menjadi
perhatian terbesar dalam berdakwah. Tauhid adalah perintah Allah yang
menjadi prioritas nomor satu, sedangkan kebalikan Tauhid, yaitu syirik adalah
larangan Allah yang terbesar.
Renungan
Seorang
da’i yang benar-benar mengetahui skala prioritas dakwah yang Allah ridhai dan
Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam ajarkan kepada kita,
maka ia akan mendahulukan apa yang didahulukan Allah dan Rasul-Nya shallallahu
‘alaihi wa sallam dengan keyakinan bahwa tidak ada pilihan yang lebih
baik dari pilihan Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam.
5. Bersabar terhadap kesulitan-kesulitan dan
gangguan-gangguan yang dijumpai dalam berdakwah, mengajak manusia kepada Allah.
Sebaik-baik
teladan dalam kesabaran adalah para utusan Allah ‘alaihimush shalatu
was salam, mereka hadapi gangguan dan celaan di jalan dakwah dengan
penuh kesabaran, sebagaimana firman Allah Ta’ala :
وَلَقَدِ
اسْتُهْزِئَ بِرُسُلٍ مِنْ قَبْلِكَ فَحَاقَ بِالَّذِينَ سَخِرُوا مِنْهُمْ مَا
كَانُوا بِهِ يَسْتَهْزِئُونَ
“Dan
sungguh telah diperolok-olokkan beberapa Rasul sebelum kamu, maka turunlah
kepada orang-orang yang mencemoohkan di antara mereka balasan (azab)
olok-olokan mereka” (Al-An’aam:10).
وَلَقَدْ
كُذِّبَتْ رُسُلٌ مِنْ قَبْلِكَ فَصَبَرُوا عَلَىٰ مَا كُذِّبُوا وَأُوذُوا
حَتَّىٰ أَتَاهُمْ نَصْرُنَا
“Dan
sesungguhnya telah didustakan (pula) Rasul-Rasul sebelum kamu, akan tetapi
mereka sabar terhadap pendustaan dan penganiayaan (yang dilakukan) terhadap
mereka, sampai datang pertolongan Allah kepada mereka” (Al-An’aam:34).
Renungan:
Seorang
da’i yang tidak bersabar ketika menyampaikan Tauhid dan Sunnah di tengah-tengah
masyarakat karena dianggap itu adalah materi dakwah yang tidak pro rakyat,
bahkan dakwah Tauhid dan Sunnah yang memperingatkan syirik dan bid’ah dituduh
sebagai gerakan memecah belah umat, maka -dengan ketidaksabarannya tersebut- ia
akan beralih kepada materi-materi dakwah mereka yang populer dan dianggap pro
rakyat, hasil dari tawar menawar politik dan upaya mempertahankan aset masa
pendukung kelompok, lembaga atau partainya!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar