Ustadz Abu Isma’il Muslim al Atsari
Allah Azza wa Jalla
yang menciptakan manusia, maka Dia jugalah yang paling mengetahui mashlahat
(perkara yang membawa kepada kebaikan) bagi manusia, dibandingkan manusia itu
sendiri. Dia Maha Mengetahui, Maha Bijaksana, dan Maha Kasih Sayang kepada
hamba-hambaNya. Allah berfirman :
أَلَا يَعْلَمُ مَنْ خَلَقَ وَهُوَ اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ
“Apakah Allah yang
menciptakan itu tidak mengetahui (yang kamu lahirkan atau rahasiakan); dan Dia
Maha Halus lagi Maha Mengetahui?” [Al Mulk/67:14]
Demikianlah seluruh
syari’at Allah, semuanya merupakan mashlahat, baik mashlahat murni yang tidak
ada keburukannya, ataupun mashlahat rajihah (yang lebih kuat) terhadap
keburukannya. Termasuk dalam hal ini, yaitu poligami yang telah dihalalkan oleh
Allah di dalam kitab suciNya, dihalalkan oleh RasulNya yang mulia Shallallahu
‘alaihi wa sallam, serta disepakati oleh umat Islam.
Sebagai syari’at yang
dihalalkan, maka seorang muslim yang melakukan poligami, semestinya
memperhatikan syarat dan adab-adabnya. Sementara itu, di tengah masyarakat,
umat Islam yang melakukan poligami, sebagian di antara mereka melakukannya
dengan tanpa memenuhi syarat dan adab-adabnya, sebagaimana yang telah diajarkan
oleh Islam. Hal ini turut memperburuk citra agama Islam di mata musuh-musuhnya.
Sehingga melahirkan penilaian negatif terhadap poligami yang merupakan anugerah
Allah ini.
Oleh karena itu
sebagai umat Islam, sepantasnya kita mengetahui syarat-syarat dan adab-adab
poligami, sehingga kesempurnaan agama Allah ini dapat kita pahami. Dan bagi
seseorang yang melaksanakan poligami, dia melaksanakan dengan sebaik-baiknya
sebagaimana dituntunkan syari’at.
ADAB-ADAB POLIGAMI
Ketika seseorang melakukan poligami, maka semestinya dia mengetahui adab-adab yang berkaitan dengannya. Berikut adalah di antara pembahasan dalam perkara ini.
Ketika seseorang melakukan poligami, maka semestinya dia mengetahui adab-adab yang berkaitan dengannya. Berikut adalah di antara pembahasan dalam perkara ini.
1. Dengan
Berpoligami, Seorang Laki-Laki Janganlah Menjadi Lalai Dalam Menjalankan
Ketaatannya Kepada Allah.
Yang dimaksud yakni hanya memikirkan isteri-isteri dan anak-anaknya saja. Karena sesungguhnya tujuan kehidupan adalah beribadah kepada Allah. Demikian juga kewajiban hidup di dunia ini banyak. Ada kewajiban terhadap Allah, kewajiban terhadap orang tua, kewajiban terhadap tetangga, dan lain-lain. Allah berfirman:
$
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ وَأَوْلَادِكُمْ عَدُوًّا لَكُمْ فَاحْذَرُوهُمْ ۚ وَإِنْ تَعْفُوا وَتَصْفَحُوا وَتَغْفِرُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
Yang dimaksud yakni hanya memikirkan isteri-isteri dan anak-anaknya saja. Karena sesungguhnya tujuan kehidupan adalah beribadah kepada Allah. Demikian juga kewajiban hidup di dunia ini banyak. Ada kewajiban terhadap Allah, kewajiban terhadap orang tua, kewajiban terhadap tetangga, dan lain-lain. Allah berfirman:
$
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ وَأَوْلَادِكُمْ عَدُوًّا لَكُمْ فَاحْذَرُوهُمْ ۚ وَإِنْ تَعْفُوا وَتَصْفَحُوا وَتَغْفِرُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Hai orang-orang
mukmin, sesungguhnya di antara isteri-isterimu dan anak-anakmu ada yang menjadi
musuh bagimu, maka berhati-hatilah terhadap mereka. Dan jika kamu memaafkan dan
tidak memarahi serta mengampuni (mereka), maka sesungguhnya Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.” [Ath-Thaghabun/64:14]
Dalam tafsirnya
tentang ayat ini, Imam Ibnu Katsir menjelaskan, Allah Ta’ala berkata
memberitakan tentang isteri-isteri dan anak-anak, bahwa di antara mereka ada
yang menjadi musuh bagi suami dan anak. Dalam arti, isteri-isteri dan anak-anak
dapat melalaikannya dari amal shalih. Sebagaimana firman Allah:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُلْهِكُمْ أَمْوَالُكُمْ وَلَا
أَوْلَادُكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ ۚ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَٰلِكَ فَأُولَٰئِكَ هُمُ
الْخَاسِرُونَ
“Hai orang-orang
beriman, janganlah hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat
Allah. Barangsiapa yang berbuat demikian, maka mereka itulah orang-orang yang
merugi”.[Al Munafiqun/63:9] [1]
2. Seorang Laki-Laki
–dari umat Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam – Tidak Boleh Beristeri
Lebih Dari Empat Dalam Satu Waktu.
Jika seseorang masuk agama Islam, sedangkan dia beristeri lebih dari empat, maka dia disuruh memilih empat isterinya, dan lainnya diceraikan. Seorang sahabat Nabi yang bernama Wahb al Asadi Radhiya;;ahu ‘anhu berkata:
Jika seseorang masuk agama Islam, sedangkan dia beristeri lebih dari empat, maka dia disuruh memilih empat isterinya, dan lainnya diceraikan. Seorang sahabat Nabi yang bernama Wahb al Asadi Radhiya;;ahu ‘anhu berkata:
أَسْلَمْتُ وَعِنْدِي ثَمَانُ نِسْوَةٍ فَذَكَرْتُ ذَلِكَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
اخْتَرْ مِنْهُنَّ أَرْبَعًا
“Aku masuk Islam,
sedangkan aku memiliki delapan isteri. Aku menyebutkan hal itu kepada Nabi n ,
maka beliau bersabda: “Pilihlah empat dari mereka”. [HR Abu Dawud, no. 2241.
Hadits ini dishahihkan oleh al Albani]
3. Jika Seseorang
Menikahi Wanita Kelima, Padahal Dia Masih Memiliki Empat Isteri.
Dalam masalah ini, al Qurthubi rahimahullah mengatakan: “(Imam) Malik dan Syafi’i mengatakan, ‘Jika dia mengetahui (hukumnya), maka dia dikenai had’. Begitu pula (yang) dikatakan oleh Abu Tsaur. Az-Zuhri mengatakan,’Jika dia mengetahui (hukumnya), maka dia dirajam (dilempari dengan batu sampai mati). Jika dia tidak tahu, maka dia dikenai had yang rendah, yaitu dera. (Adapun) wanita itu, (ia) mendapatkan mahar, dan dipisahkan antara keduanya. Mereka tidak boleh berkumpul selamanya’.” [2]
Dalam masalah ini, al Qurthubi rahimahullah mengatakan: “(Imam) Malik dan Syafi’i mengatakan, ‘Jika dia mengetahui (hukumnya), maka dia dikenai had’. Begitu pula (yang) dikatakan oleh Abu Tsaur. Az-Zuhri mengatakan,’Jika dia mengetahui (hukumnya), maka dia dirajam (dilempari dengan batu sampai mati). Jika dia tidak tahu, maka dia dikenai had yang rendah, yaitu dera. (Adapun) wanita itu, (ia) mendapatkan mahar, dan dipisahkan antara keduanya. Mereka tidak boleh berkumpul selamanya’.” [2]
Kalau ini sebagai
hukuman bagi orang yang menikahi isteri kelima, lalu bagaimanakah orang yang
menikahi isteri ke enam dan seterusnya, sebagaimana dilakukan oleh orang-orang
zhalim dari kalangan raja –dan lainnya- zaman dahulu dan sekarang?
4. Seorang Laki-Laki
Tidak Boleh Memperisteri Dua Wanita Bersaudara Dalam Satu Waktu.
Allah Azza wa Jalla berfirman:
Allah Azza wa Jalla berfirman:
وَأَنْ تَجْمَعُوا بَيْنَ الْأُخْتَيْنِ إِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ ۗ إِنَّ
اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا
“(Diharamkan atas
kamu) menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali
yang telah terjadi pada masa lampau. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang.” [An-Nisaa`/4:23]
5. Seorang Laki-Laki
Tidak Boleh Memperisteri Seorang Wanita Dan Bibinya Dalam Satu Waktu.
Abu Hurairah
Radhiyallahu ‘anhu berkata:
نَهَى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ تُنْكَحَ
الْمَرْأَةُ عَلَى عَمَّتِهَا وَالْمَرْأَةُ وَخَالَتُهَا
“Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam melarang seorang wanita dinikahi bersama dengan ‘ammah
(wanita saudara bapak)nya, dan seorang wanita bersama khalah (wanita saudara
ibu)nya (oleh seorang laki-laki, Pen.). [HR Bukhari, no. 5110, Muslim, no.
1408]
6. Boleh Berbeda
Mahar Dan Walimah Bagi Isteri-Isteri. Yaitu Nilai Mahar dan Besarnya Walimah Di
Antara Para Isteri Tidak Harus Sama.
An-Najasyi Radhiyallahu menikahkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan Ummu Habibah Radhiyallahu ‘anha, dan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan mahar sebanyak empat ribu (dirham). (HR Abu Dawud, an-Nasaa-i). Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga menikahi Shafiyah Radhiyallahu ‘anha dengan mahar memerdekan Shafiyah dari perbudakan. [HR Bukhari, 5086, Muslim, no. 1045]
An-Najasyi Radhiyallahu menikahkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan Ummu Habibah Radhiyallahu ‘anha, dan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan mahar sebanyak empat ribu (dirham). (HR Abu Dawud, an-Nasaa-i). Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga menikahi Shafiyah Radhiyallahu ‘anha dengan mahar memerdekan Shafiyah dari perbudakan. [HR Bukhari, 5086, Muslim, no. 1045]
Anas bin Malik
Radhiyallahu ‘anhu mengatakan tentang walimah yang diadakan Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika menikahi Zainab bintu Jahsy Radhiyallahu
‘anha :
مَا رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْلَمَ عَلَى
أَحَدٍ مِنْ نِسَائِهِ مَا أَوْلَمَ عَلَيْهَا أَوْلَمَ بِشَاةٍ
“Tidaklah aku melihat
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengadakan walimah pada seorangpun dari
isteri-isterinya sebagaimana beliau mengadakan walimah terhadapnya. [HR
Bukhari, 5171, Muslim, no. 1428].
7. Seorang Suami Yang
Menikah Lagi Dengan Gadis, Maka Dia Tinggal Bersamanya Selama Tujuh Hari,
Kemudian Melakukan Giliran Yang Sama Setelah itu. Jika Yang Dinikahi Janda,
Maka Dia Tinggal Selama Tiga Hari, Kemudian Baru Melakukan Giliran.
Hal ini berdasarkan
hadits sebagai berikut:
عَنْ أَنَسٍ قَالَ مِنْ السُّنَّةِ إِذَا تَزَوَّجَ الرَّجُلُ الْبِكْرَ عَلَى
الثَّيِّبِ أَقَامَ عِنْدَهَا سَبْعًا وَقَسَمَ وَإِذَا تَزَوَّجَ الثَّيِّبَ
عَلَى الْبِكْرِ أَقَامَ عِنْدَهَا ثَلاَثًا ثُمَّ قَسَمَ
“Dari Anas, dia
berkata: “Termasuk Sunnah, jika seorang laki-laki menikah lagi dengan gadis,
maka dia tinggal bersamanya selama tujuh hari, dan (kemudian) menggilir. Dan
jika menikahi janda, maka dia tinggal bersamanya selama tiga hari, kemudian
baru menggilir”. [HR Bukhari, no. 5214, Muslim, no. 1461].
8. Seorang Wanita
Yang Dipinang Oleh Seorang Laki-Laki Yang Telah Beristeri, Tidak Boleh
Mensyaratkan Kepada Laki-Laki Itu Untuk Menceraikan Isterinya.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ لَا تَسْأَلْ الْمَرْأَةُ طَلَاقَ أُخْتِهَا لِتَسْتَفْرِغَ صَحْفَتَهَا
وَلْتَنْكِحْ فَإِنَّ لَهَا مَا قُدِّرَ لَهَا
“Dari Abu Hurairah
Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda: “Janganlah seorang wanita meminta (seorang laki-laki) menceraikan
saudaranya (seagama), sehingga dia akan membalikkan piringnya. Namun hendaklah
dia menikah, karena sesungguhnya dia mendapatkan apa yang telah ditakdirkan
baginya”. [HR Bukhari, no. 6601]
Menurut Imam
an-Nawawi, makna hadits ini adalah, larangan terhadap seorang wanita asing
(bukan mahram) meminta kepada seorang laki-laki menceraikan isterinya, dan
menikahinya, sehingga dia mendapatkan nafkah laki-laki itu, kebaikannya, dan
pergaulannya, yang sebelumnya untuk wanita yang telah diceraikan. [3]
Ketika menjelaskan
makna hadits ini, di antaranya al Hafizh Ibnu Hajar mengatakan, kemungkinan
yang dimaksudkan adalah, hendaklah dia menikah dengan laki-laki tersebut, tanpa
meminta mengeluarkan madunya dari penjagaan laki-laki itu (yakni
menceraikannya). Tetapi hendaklah ia menyerahkannya kepada apa yang telah Allah
takdirkan. Oleh karena itulah beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menutup
dengan sabdanya “karena sesungguhnya dia mendapatkan apa yang telah ditakdirkan
baginya”, sebagai isyarat, walaupun jika dia meminta dan mendesaknya, serta
mensyaratkan (untuk mencerainya), maka hal itu tidak akan terjadi, kecuali apa
yang Allah takdirkan. (9/275).
Demikian juga seorang
isteri, tidak boleh meminta suaminya untuk menceraikan madunya. Sebagaimana
dijelaskan oleh Imam Ibnu Abdil Barr rahimahullah, beliau berkata: “Di dalam
hadits ini terdapat fiqih (pemahaman), bahwa seorang wanita tidak pantas
meminta kepada suaminya untuk menceraikan madunya, agar dia bersendiri dengan
suaminya”. (9/274). Wallahu a’lam.
9. Suami Wjib Berlaku
Adil Dalam Memberi Giliran Pada Isteri-Isterinya.
Misalnya, setiap satu isteri bagian gilirannya satu hari dan satu malam. Atau jika seorang isteri mendapatkan sepekan, maka yang lain juga mendapatkan bagian yang sama. Demikian pula terhadap isteri yang sedang haidh atau sakit, ia tetap berhak mendapat giliran. Dan jika suami akan bersafar, kemudian hendak mengajak salah satu isterinya, maka dia dapat mengadakan undian.
‘Aisyah Radhiyallahu ‘anha berkata:
Misalnya, setiap satu isteri bagian gilirannya satu hari dan satu malam. Atau jika seorang isteri mendapatkan sepekan, maka yang lain juga mendapatkan bagian yang sama. Demikian pula terhadap isteri yang sedang haidh atau sakit, ia tetap berhak mendapat giliran. Dan jika suami akan bersafar, kemudian hendak mengajak salah satu isterinya, maka dia dapat mengadakan undian.
‘Aisyah Radhiyallahu ‘anha berkata:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَرَادَ
سَفَرًا أَقْرَعَ بَيْنَ نِسَائِهِ فَأَيَّتُهُنَّ خَرَجَ سَهْمُهَا خَرَجَ بِهَا
مَعَهُ وَكَانَ يَقْسِمُ لِكُلِّ امْرَأَةٍ مِنْهُنَّ يَوْمَهَا وَلَيْلَتَهَا
غَيْرَ أَنَّ سَوْدَةَ بِنْتَ زَمْعَةَ وَهَبَتْ يَوْمَهَا وَلَيْلَتَهَا
لِعَائِشَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَبْتَغِي بِذَلِكَ
رِضَا رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Kebiasaan Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam jika menghendaki safar, beliau mengundi di antara
isterinya. Maka siapa dari mereka yang keluar bagiannya, dia pun keluar bersama
beliau. Dan beliau membagi untuk tiap-tiap isterinya sehari semalam. Akan
tetapi Saudah binti Zam’ah Radhiyallahu ‘anha, (beliau) menyerahkan harinya
untuk ‘Aisyah, isteri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, (karena) beliau
mencari ridha Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengannya. [HR Bukhari,
no. 2688, Abu Dawud, no. 2138]
Demikian juga,
seorang suami tidak boleh pergi pada waktu malam hari dari rumah isterinya yang
berhak mendapatkan giliran menuju ke rumah isteri yang lainnya, karena hal ini
merupakan kezhaliman.
10. Suami Tidak Boleh
Berjima’ Dengan Isteri Yang Bukan Pemilik Hak Giliran, Kecuali Dengan Izin Dan
Ridha Pemilik Hak.
‘Urwah bin Zubair mengatakan, bahwa ‘Aisyah Radhiyallahu ‘anha berkata kepadanya:
‘Urwah bin Zubair mengatakan, bahwa ‘Aisyah Radhiyallahu ‘anha berkata kepadanya:
يَا ابْنَ أُخْتِي كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
لَا يُفَضِّلُ بَعْضَنَا عَلَى بَعْضٍ فِي الْقَسْمِ مِنْ مُكْثِهِ عِنْدَنَا
وَكَانَ قَلَّ يَوْمٌ إِلَّا وَهُوَ يَطُوفُ عَلَيْنَا جَمِيعًا فَيَدْنُو مِنْ
كُلِّ امْرَأَةٍ مِنْ غَيْرِ مَسِيسٍ حَتَّى يَبْلُغَ إِلَى الَّتِي هُوَ
يَوْمُهَا فَيَبِيتَ عِنْدَهَا وَلَقَدْ قَالَتْ سَوْدَةُ بِنْتُ زَمْعَةَ حِينَ
أَسَنَّتْ وَفَرِقَتْ أَنْ يُفَارِقَهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يَا رَسُولَ اللَّهِ يَوْمِي لِعَائِشَةَ فَقَبِلَ ذَلِكَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْهَا قَالَتْ نَقُولُ فِي ذَلِكَ
أَنْزَلَ اللَّهُ تَعَالَى وَفِي أَشْبَاهِهَا أُرَاهُ قَالَ وَإِنْ امْرَأَةٌ
خَافَتْ مِنْ بَعْلِهَا نُشُوزًا
Wahai, anak saudara
perempuanku. Dahulu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak
mengutamakan sebagian kami (para isteri) atas yang lain di dalam pembagian.
Yaitu menetapnya beliau pada kami. Dan hampir setiap hari beliau mengelilingi
kami semua. Yakni beliau mendatangi semua isterinya dengan tanpa menyentuh
(jima’, Pen.), sehingga beliau sampai kepada isteri yang hari itu menjadi
haknya, maka beliau bermalam padanya. Pada waktu Saudah (salah satu isteri
beliau) sudah tua dan takut diceraikan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam, dia mengatakan: “Wahai, Rasulullah. Hariku untuk ‘Aisyah,” maka Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam menerima itu darinya. ‘Aisyah mengatakan: Kami
berkata: Tentang itu –dan yang semacamnya- Allah menurunkan firmanNya:
وَإِنِ امْرَأَةٌ خَافَتْ مِنْ بَعْلِهَا نُشُوزًا أَوْ إِعْرَاضًا
“Dan jika seorang
wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya…” [HR Abu
Dawud, no. 213]
Kelengkapan ayat di
atas ialah:
وَإِنِ امْرَأَةٌ خَافَتْ مِنْ بَعْلِهَا نُشُوزًا أَوْ إِعْرَاضًا فَلَا
جُنَاحَ عَلَيْهِمَا أَنْ يُصْلِحَا بَيْنَهُمَا صُلْحًا ۚ وَالصُّلْحُ خَيْرٌ ۗ
وَأُحْضِرَتِ الْأَنْفُسُ الشُّحَّ ۚ وَإِنْ تُحْسِنُوا وَتَتَّقُوا فَإِنَّ
اللَّهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرًا
“Dan jika seorang
wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak
mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan
perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya
kikir. Dan jika kamu bergaul dengan isterimu secara baik dan memelihara dirimu
(dari nusyuz dan sikap tak acuh), Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui
apa yang kamu kerjakan.” [An-Nisaa`/4:128]
Penulis kitab ‘Aunul
Ma’bud berkata: “Di dalam hadits ini terdapat dalil, bahwa laki-laki boleh
menemui isterinya yang bukan pemilik hak giliran hari itu, menyenangkan
hatinya, menyentuhnya, dan menciumnya. Hadits ini juga menunjukkan kebaikan
akhlak Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan beliau adalah sebaik-baik
manusia terhadap keluarganya (isterinya). Di dalam hadits ini juga terdapat
dalil, bolehnya seorang isteri memberikan gilirannya kepada madunya. Dengan
syarat, (mendapat) ridha suami. Karena, suami juga mempunyai hak atas
isterinya, sehingga isteri tersebut tidak berhak menggugurkan hak suami kecuali
dengan ridhanya”. [Syarah hadits no. 2135]
Bahkan demikian juga
jika para isteri mengizinkan suami boleh menggilir mereka semua dalam satu
malam. Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu berkata:
أَنَّ نَبِيَّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَطُوفُ عَلَى
نِسَائِهِ فِي اللَّيْلَةِ الْوَاحِدَةِ وَلَهُ يَوْمَئِذٍ تِسْعُ نِسْوَةٍ
“Sesungguhnya Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam pernah mengelilingi semua isterinya dalam satu malam. Waktu
itu beliau memiliki sembilan isteri”. [HR Bukhari, no. 284]
Demikian sedikit
penjelasan yang berkaitan dengan syarat dan adab berpoligami, Dengan penjelasan
ini, mudah-mudahan kita mengetahui kesempurnaan agama Islam yang membolehkan
poligami, dengan memberikan batasan hanya empat isteri. Dan diiringi dengan
kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi oleh laki-laki yang melakukan poligam
tersebut.
Syari’at Islam yang
membolehkan poligami dengan syarat dan adab-adabnya, tentu lebih baik daripada
poligami yang dilakukan oleh berbagai bangsa di dunia, baik pada zaman dahulu
maupun pada masa sekarang yang tanpa batasan. Demikian juga, poligami yang
dibolehkan Islam, tentu lebih baik dari pada perselingkuhan dan perzinaan yang
dilakukan oleh orang-orang pada zaman dahulu maupun sekarang. Maka orang yang
adil, dan menilai dengan jujur, pastilah mengakui keunggulan dan kesempurnaan
Islam, dibandingkan dengan ajaran dan fikiran manusia, siapapun orangnya.
Wallahul-Musta’an.
Wallahul-Musta’an.
______
Footnote
[1]. Tafsir Ibni Katsir, surat ath-Thaghabun/64 ayat 14.
[2]. Tafsir al Qurthubi (5/18), dinukil dari Jami’ Ahkamin-Nisaa` (3/467).
[3]. Fathul-Bari (9/274), syarah hadits no. 5152, Penerbit Darus Salam, Riyadh.
Footnote
[1]. Tafsir Ibni Katsir, surat ath-Thaghabun/64 ayat 14.
[2]. Tafsir al Qurthubi (5/18), dinukil dari Jami’ Ahkamin-Nisaa` (3/467).
[3]. Fathul-Bari (9/274), syarah hadits no. 5152, Penerbit Darus Salam, Riyadh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar