Allah Ta’ala telah
memuji ilmu dan pemiliknya serta mendorong hamba-hamba-Nya untuk berilmu dan
membekali diri dengannya. Demikian pula Sunnah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa
sallam yang suci.
Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah
(wafat th. 751 H) rahimahullaah menyebutkan lebih dari seratus keutamaan ilmu
syar’i. Di buku ini penulis hanya sebutkan sebagian kecil darinya. Di
antaranya:
1. Kesaksian Allah
Ta’ala Kepada Orang-Orang Yang Berilmu
Allah Ta’ala berfirman,
Allah Ta’ala berfirman,
شَهِدَ اللَّهُ أَنَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ وَالْمَلَائِكَةُ وَأُولُو
الْعِلْمِ قَائِمًا بِالْقِسْطِ ۚ لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ
“Allah menyatakan
bahwasanya tidak ada ilah (yang berhak diibadahi dengan benar) melainkan Dia,
Yang menegakkan keadilan. Para Malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga
menyatakan yang demikian itu). Tidak ada ilah (yang berhak diibadahi dengan
benar) melainkan Dia, Yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.” [Ali ‘Imran: 18]
Pada ayat di atas
Allah Ta’ala meminta orang yang berilmu bersaksi terhadap sesuatu yang sangat
agung untuk diberikan kesaksian, yaitu keesaan Allah Ta’ala… Ini menunjukkan
keutamaan ilmu dan orang-orang yang berilmu. [1]
Selain itu, ayat di
atas juga memuat rekomendasi Allah tentang kesucian dan keadilan orang-orang
yang berilmu.
Sesungguhnya Allah
hanya akan meminta orang-orang yang adil saja untuk memberikan kesaksian. Di
antara dalil yang juga menunjukkan hal ini adalah hadits yang masyhur,
bahwasanya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
يَحْمِلُ هَذَا الْعِلْمَ مِنْ كُلِّ خَلَفٍ عُدُوْلُهُ، يَنْفُوْنَ عَنْهُ
تَحْرِيْفَ الْغَالِيْنَ، وَانْتِحَالَ الْمُبْطِلِيْنَ، وَتَأْوِيْلَ
الْجَاهِلِيْنَ.
“Ilmu ini akan dibawa
oleh para ulama yang adil dari tiap-tiap generasi. Mereka akan memberantas
penyimpangan/perubahan yang dilakukan oleh orang-orang yang ghuluw (yang
melampaui batas), menolak kebohongan pelaku kebathilan (para pendusta), dan
takwil orang-orang bodoh.” [2]
2. Orang Yang Berilmu
Akan Allah Angkat Derajatnya
Allah Subhanahu wa Ta’ala mengabarkan secara khusus tentang diangkatnya derajat orang yang berilmu dan beriman. Allah Ta’ala berfirman.
Allah Subhanahu wa Ta’ala mengabarkan secara khusus tentang diangkatnya derajat orang yang berilmu dan beriman. Allah Ta’ala berfirman.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قِيلَ لَكُمْ تَفَسَّحُوا فِي
الْمَجَالِسِ فَافْسَحُوا يَفْسَحِ اللَّهُ لَكُمْ ۖ وَإِذَا قِيلَ انشُزُوا
فَانشُزُوا يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا
الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ ۚ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
“Wahai orang-orang
yang beriman! Apabila dikatakan kepadamu: ‘Berilah kelapangan dalam majelis’,
maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila
dikatakan: ‘Berdirilah kamu’, maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan
orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu
pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu
kerjakan.” [Al-Mujaadilah : 11] [3]
Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ اللهَ يَرْفَعُ بِـهَذَا الْكِتَابِ أَقْوَامًا وَيَضَعُ بِهِ آخَرِينَ.
“Sesungguhnya Allah
mengangkat dengan Al-Qur-an beberapa kaum dan Allah pun merendahkan beberapa
kaum dengannya.” [4]
Di zaman dahulu ada
seseorang yang lehernya cacat, dan ia selalu menjadi bahan ejekan dan
tertawaan. Kemudian ibunya berkata kepadanya, “Hendaklah engkau menuntut ilmu,
niscaya Allah akan mengangkat derajatmu.” Sejak itulah, orang itu belajar ilmu
syar’i hingga ia menjadi orang alim, sehingga ia diangkat menjadi Qadhi (Hakim)
di Makkah selama 20 (dua puluh) tahun. Apabila ada orang yang berperkara duduk
di hadapannya, maka gemetarlah tubuhnya hingga ia berdiri. [5]
Orang yang berilmu
dan mengamalkannya, maka kedudukannya akan diangkat oleh Allah di dunia dan
akan dinaikkan derajatnya di akhirat.
Imam Sufyan bin
‘Uyainah (wafat th. 198 H) rahimahullaah mengatakan, “Orang yang paling tinggi
kedudukannya di sisi Allah di antara hamba-hamba-Nya adalah para Nabi dan
ulama.” [6]
Allah pun telah
berfirman tentang Nabi Yusuf ‘alaihis salaam:
نَرْفَعُ دَرَجَاتٍ مَّن نَّشَاءُ ۗ وَفَوْقَ كُلِّ ذِي عِلْمٍ عَلِيمٌ
“…Kami angkat derajat
orang yang Kami kehendaki, dan diatas setiap orang yang berpengetahuan itu ada
lagi yang Maha Mengetahui.” [Yusuf: 76]
Disebutkan bahwa
tafsir ayat di atas adalah bahwasanya Kami (Allah) mengangkat derajat siapa
saja yang Kami kehendaki dengan sebab ilmu. Sebagaimana Kami telah mengangkat
derajat Yusuf ‘alaihis salaam di atas saudara-saudaranya dengan sebab ilmunya.
Lihatlah apa yang
diperoleh oleh Nabi ‘Isa ‘alaihis salaam berupa pengetahuan (ilmu) terhadap
Al-Kitab, Hikmah, Taurat dan Injil. Dengannyalah Allah Ta’ala mengangkatnya
kepada-Nya, mengutamakannya serta memuliakannya. Demikian juga apa yang
diperoleh pemimpin anak Adam (yaitu Nabi Muhammad) shallallaahu ‘alaihi wa
sallam berupa ilmu yang Allah sebutkan sebagai suatu nikmat dan karunia.
Allah Ta’ala
berfirman:
وَأَنزَلَ اللَّهُ عَلَيْكَ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَعَلَّمَكَ مَا لَمْ
تَكُن تَعْلَمُ ۚ وَكَانَ فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكَ عَظِيمًا
“… Dan (juga karena)
Allah telah menurunkan Kitab (Al-Qur-an) dan hikmah (As-Sunnah) kepadamu dan
telah mengajarkan kepadamu apa yang belum engkau ketahui. Karunia Allah yang
dilimpahkan kepadamu sangat besar.” [An-Nisaa’: 113] [7]
3. Orang Yang Berilmu
Adalah Orang-Orang Yang Takut Kepada Allah
Allah mengabarkan bahwa mereka adalah orang-orang yang takut kepada Allah Ta’ala, bahkan Allah mengkhususkan mereka di antara manusia dengan rasa takut tersebut. Allah berfirman:
Allah mengabarkan bahwa mereka adalah orang-orang yang takut kepada Allah Ta’ala, bahkan Allah mengkhususkan mereka di antara manusia dengan rasa takut tersebut. Allah berfirman:
إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ
“… Di antara
hamba-hamba Allah yang takut kepada-Nya hanyalah para ulama.” [Faathir: 28]
Ibnu Mas’ud
Radhiyallaahu ‘anhu berkata, “Cukuplah rasa takut kepada Allah itu disebut
sebagai ilmu. Dan cukuplah tertipu dengan tidak mengingat Allah disebut sebagai
suatu kebodohan.” [8]
Imam Ahmad
rahimahullaah berkata, “Pokok ilmu adalah rasa takut kepada Allah.” [9] Apabila
seseorang bertambah ilmunya, maka akan bertambah rasa takut-nya kepada Allah.
4. Ilmu Adalah Nikmat
Yang Paling Agung
Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan beberapa nikmat dan karunia-Nya atas Rasul-Nya (Nabi Muhammad) shallallaahu ‘alaihi wa sallam, dan menjadikan nikmat yang paling agung adalah diberikannya Al-Kitab dan Al-Hikmah, dan Allah mengajarkan beliau apa yang belum diketahuinya.
Allah berfirman:
Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan beberapa nikmat dan karunia-Nya atas Rasul-Nya (Nabi Muhammad) shallallaahu ‘alaihi wa sallam, dan menjadikan nikmat yang paling agung adalah diberikannya Al-Kitab dan Al-Hikmah, dan Allah mengajarkan beliau apa yang belum diketahuinya.
Allah berfirman:
وَأَنزَلَ اللَّهُ عَلَيْكَ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَعَلَّمَكَ مَا لَمْ
تَكُن تَعْلَمُ ۚ وَكَانَ فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكَ عَظِيمًا
“… Dan (juga karena)
Allah telah menurunkan Kitab (Al-Qur-an) dan hikmah (As-Sunnah) kepadamu dan
telah mengajarkan kepadamu apa yang belum engkau ketahui. Karunia Allah yang
dilimpahkan kepadamu sangat besar.” [An-Nisaa’: 113] [10]
Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَلاَ إِنِّيْ أُوْتِيْتُ الْكِتَابَ وَمِثْلَهُ مَعَهُ…
“Ketahuilah,
sesungguhnya aku diberikan Al-Kitab (Al-Qur-an) dan yang sepertinya (As-Sunnah)
bersamanya…” [11]
5. Faham Dalam
Masalah Agama Termasuk Tanda-Tanda Kebaikan
Dalam ash-Shahiihain dari hadits Mu’awiyah bin Abi Sufyan (wafat th. 78 H) radhiyallaahu ‘anhu, ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
Dalam ash-Shahiihain dari hadits Mu’awiyah bin Abi Sufyan (wafat th. 78 H) radhiyallaahu ‘anhu, ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّيْنِ
“Barangsiapa
dikehendaki kebaikan oleh Allah, maka Dia akan memberikan pemahaman agama
kepadanya.” [12]
Ini menunjukkan bahwa
orang yang tidak diberikan pemahaman dalam agamanya tidak dikehendaki kebaikan
oleh Allah, sebagaimana orang yang dikehendaki kebaikan oleh Allah, maka Dia
menjadikannya faham dalam masalah agama. Dan barangsiapa yang diberikan
pemahaman dalam agama, maka Allah telah menghendaki kebaikan untuknya. Dengan
demikian, yang dimaksud dengan pemahaman (fiqh) adalah ilmu yang mengharuskan
adanya amal. [13]
Imam an-Nawawi (wafat
th. 676 H) rahimahullaah mengatakan, “Di dalam hadits ini terdapat keutamaan
ilmu, mendalami agama, dan dorongan kepadanya. Sebabnya adalah karena ilmu akan
menuntunnya kepada ketaqwaan kepada Allah Ta’ala.” [14]
6. Orang Yang Berilmu
Dikecualikan Dari Laknat Allah
Imam at-Tirmidzi (wafat th. 249 H) rahimahullaah meriwayatkan dari Abu Hurairah (wafat th. 57 H) radhi-yallaahu ‘anhu, ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Imam at-Tirmidzi (wafat th. 249 H) rahimahullaah meriwayatkan dari Abu Hurairah (wafat th. 57 H) radhi-yallaahu ‘anhu, ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَلاَ إِنَّ الدُّنْيَا مَلْعُوْنَةٌ مَلْعُوْنٌ مَا فِيْهَا إِلَّا ذِكْرُ
اللهِ وَمَا وَالَاهُ وَعَالِـمٌ أَوْ مُتَعَلِّمٌ.
“Ketahuilah,
sesungguhnya dunia itu dilaknat dan dilaknat apa yang ada di dalamnya, kecuali
dzikir kepada Allah dan ketaatan kepada-Nya, orang berilmu, dan orang yang
mempelajari ilmu.’” [15]
7. Menuntut Ilmu Dan
Mengajarkannya Lebih Utama Daripada Ibadah Sunnah Dan Wajib Kifayah
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
فَضْلُ الْعِلْمِ خَيْرٌ مِنْ فَضْلِ الْعِبَادَةِ وَخَيْرُ دِيْنِكُمُ
الْوَرَعُ.
“Keutamaan ilmu lebih
baik daripada keutamaan ibadah, dan agama kalian yang paling baik adalah
al-wara’ (ketakwaan).” [16]
‘Ali bin Abi Thalib
(wafat th. 40 H) Radhiyallaahu ‘anhu berkata, “Orang yang berilmu lebih besar
ganjaran pahalanya daripada orang yang puasa, shalat, dan berjihad di jalan
Allah.” [17]
Abu Hurairah
Radhiyallaahu ‘anhu berkata, “Sungguh, aku mengetahui satu bab ilmu tentang
perintah dan larangan lebih aku sukai daripada tujuh puluh kali melakukan jihad
di jalan Allah.” [18]
Aku (Ibnul Qayyim)
katakan, “Ini -jika shahih- maknanya adalah: lebih aku sukai daripada jihad
tanpa ilmu, karena amal tanpa ilmu kerusakannya lebih banyak daripada baiknya.”
[19]
Al-Hasan
rahimahullaah berkata, “Orang yang berilmu lebih baik daripada orang yang zuhud
terhadap dunia dan orang yang bersungguh-sungguh dalam beribadah.” [20]
Sufyan ats-Tsauri
(wafat th. 161 H) rahimahullaah mengatakan, “Aku tidak mengetahui satu ibadah
pun yang lebih baik daripada mengajarkan ilmu kepada manusia.” [21]
Imam asy-Syafi’i (wafat
th. 204 H) rahimahullaah mengatakan, “Tidak ada sesuatu pun yang lebih baik
setelah berbagai kewajiban syari’at daripada menuntut ilmu syar’i.” [22]
8. Ilmu Adalah
Kebaikan Di Dunia
Mengenai firman Allah Ta’ala,
Mengenai firman Allah Ta’ala,
رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً
“Wahai Rabb kami,
berilah kami kebaikan di dunia”
Al-Hasan (wafat th.
110 H) rahimahullaah berkata, “Yang dimaksud kebaikan dunia adalah ilmu dan
ibadah.” Dan firman Allah,
وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً
“Dan kebaikan di
akhirat.” [Al-Baqarah: 201]
Al-Hasan rahimahullaah
berkata, “Maksudnya adalah Surga.”
Sesungguhnya kebaikan dunia yang paling agung adalah ilmu yang bermanfaat dan amal yang shalih, dan ini adalah sebaik-baik tafsir ayat di atas. [23]
Sesungguhnya kebaikan dunia yang paling agung adalah ilmu yang bermanfaat dan amal yang shalih, dan ini adalah sebaik-baik tafsir ayat di atas. [23]
Ibnu Wahb (wafat th.
197 H) rahimahullaah berkata, “Aku mendengar Sufyan ats-Tsauri rahimahullaah
berkata, ‘Kebaikan di dunia adalah rizki yang baik dan ilmu, sedangkan kebaikan
di akhirat adalah Surga.’” [24]
9. Ilmu Adalah Jalan
Menuju Kebahagiaan
Imam Ahmad dan at-Tirmidzi meriwayatkan hadits dari Shahabat Abu Kabasyah al-Anmari (wafat th. 13 H) radhiyallaahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Imam Ahmad dan at-Tirmidzi meriwayatkan hadits dari Shahabat Abu Kabasyah al-Anmari (wafat th. 13 H) radhiyallaahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
… إِنَّمَا الدُّنْيَا لِأَرْبَعَةِ نَفَرٍ: عَبْدٍ رَزَقَهُ اللهُ مَالًا
وَعِلْمًا فَهُوَ يَتَّقِي فِيْهِ رَبَّهُ وَيَصِلُ فِيْهِ رَحِـمَهُ وَيَعْلَمُ
ِللهِ فِيْهِ حَقًّا فَهَذَا بِأَفْضَلِ الْـمَنَازِلِ، وَعَبْدٍ رَزَقَهُ اللهُ
عِلْمًا وَلَـمْ يَرْزُقْهُ مَالًا فَهُوَ صَادِقُ النِّـيَّـةِ يَقُوْلُ: لَوْ
أَنَّ لِـيْ مَالًا لَعَمِلْتُ بِعَمَلِ فُلاَنٍ فَهُوَ بِنِيَّتِهِ
فَأَجْرُهُـمَا سَوَاءٌ، وَعَبْدٍ رَزَقَهُ اللهُ مَالاً وَلَـمْ يَرْزُقْهُ
عِلْمًـا فَهُوَ يَخْبِطُ فِي مَالِهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ لَا يَتَّقِي فِيْهِ
رَبَّهُ وَلَا يَصِلُ فِيْهِ رَحِـمَهُ وَلَا يَعْلَمُ ِللهِ فِيْهِ حَقًّا
فَهَذَا بِأَخْبَثِ الْـمَنَازِلِ وَعَبْدٍ لَـمْ يَرْزُقْهُ اللهُ مَالًا وَلَا
عِلْمًـا فَهُوَ يَقُولُ: لَوْ أَنَّ لِـيْ مَالًا لَعَمِلْتُ فِيْهِ بِعَمَلِ
فُلاَنٍ فَهُوَ بِنِيَّتِهِ فَوِزْرُهُـمَا سَوَاءٌ.
“…Sesungguhnya dunia
diberikan untuk empat orang: (1) seorang hamba yang Allah berikan ilmu dan
harta, kemudian dia bertaqwa kepada Allah dalam hartanya, dengannya ia
menyambung sila-turahmi, dan mengetahui hak Allah di dalamnya. Orang tersebut
kedudukannya paling baik (di sisi Allah). (2) Seorang hamba yang Allah berikan
ilmu namun tidak diberikan harta, dengan niatnya yang jujur ia berkata,
‘Seandainya aku memiliki harta, aku pasti mengerjakan seperti apa yang
dikerjakan si fulan.’ Ia dengan niatnya itu, maka pahala keduanya sama. (3)
Seorang hamba yang Allah berikan harta namun tidak diberikan ilmu. Lalu ia tidak
dapat mengatur hartanya, tidak bertaqwa kepada Allah dalam hartanya, tidak
menyambung silaturahmi dengannya, dan tidak mengetahui hak Allah di dalamnya.
Kedudukan orang tersebut adalah yang paling jelek (di sisi Allah). Dan (4)
seorang hamba yang tidak Allah berikan harta tidak juga ilmu, ia berkata,
‘Seandainya aku memiliki harta, aku pasti mengerjakan seperti apa yang
dikerjakan si fulan.’ Ia berniat seperti itu dan keduanya sama dalam
mendapatkan dosa.” [25]
Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam membagi penghuni dunia menjadi empat golongan. Golongan yang
terbaik di antara mereka adalah orang yang diberikan ilmu dan harta; ia berbuat
baik kepada manusia dan dirinya sendiri dengan ilmu dan hartanya. [26]
10. Menuntut Ilmu
Akan Membawa Kepada Kebersihan Hati, Kemuliaannya, Kehidupannya, Dan Cahayanya
Sesungguhnya hati manusia akan menjadi lebih bersih dan mulia dengan mendapatkan ilmu syar’i dan itulah kesempurnaan diri dan kemuliaannya. Orang yang menuntut ilmu akan bertambah rasa takut dan taqwanya kepada Allah. Hal ini berbeda dengan orang yang disibukkan oleh harta dan dunia, padahal harta tidak membersihkan dirinya, tidak menambah sifat kesempurnaan dirinya, yang ada hatinya akan menjadi tamak, rakus, dan kikir.
Sesungguhnya hati manusia akan menjadi lebih bersih dan mulia dengan mendapatkan ilmu syar’i dan itulah kesempurnaan diri dan kemuliaannya. Orang yang menuntut ilmu akan bertambah rasa takut dan taqwanya kepada Allah. Hal ini berbeda dengan orang yang disibukkan oleh harta dan dunia, padahal harta tidak membersihkan dirinya, tidak menambah sifat kesempurnaan dirinya, yang ada hatinya akan menjadi tamak, rakus, dan kikir.
Sesungguhnya
mencintai ilmu dan mencarinya adalah akar segala ketaatan, sedangkan mencintai
harta dan dunia adalah akar berbagai kesalahan yang menjerumuskan ke Neraka.
Setiap Muslim dan
Muslimah harus mengetahui bahwa orang yang menuntut ilmu adalah orang yang
bahagia karena ia mendengarkan ayat-ayat Al-Qur-an, hadits-hadits Nabi
shallallaahu ‘alaihi wa sallam, dan perkataan para Shahabat. Dengannya hati
terasa nikmat dan akan membawa kepada kebersihan hati dan kemuliaan.
11. Orang Yang
Menuntut Ilmu Akan Dido’akan Oleh Rasulullah Shallallaahu ‘Alaihi Wa Sallam
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam mendo’akan orang-orang yang mendengarkan sabda beliau dan memahaminya dengan keindahan dan berserinya wajah. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam mendo’akan orang-orang yang mendengarkan sabda beliau dan memahaminya dengan keindahan dan berserinya wajah. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
نَضَّرَ اللهُ امْرَأً سَمِعَ مِنَّا حَدِيْثًا فَحَفِظَهُ حَتَّى يُبَلِّغَهُ
غَيْرَهُ؛ فَإِنَّهُ رُبَّ حَامِلِ فِقْهٍ لَيْسَ بِفَقِيْهٍ، وَرُبَّ حَامِلِ
فِقْهٍ إِلَى مَنْ هُوَ أَفْقَهُ مِنْهُ، ثَلَاثُ خِصَالٍ لَا يُغِلُّ عَلَيْهِنَّ
قَلْبُ مُسْلِمٍ أَبَدًا: إِخْلَاصُ الْعَمَلِ ِلِله، وَمُنَاصَحَةُ وُلاَةِ
الْأَمْرِ، وَلُزُوْمُ الْـجَمَاعَةِ؛ فَإِنَّ دَعْوَتَهُمْ تُحِيْطُ مِنْ
وَرَائِهِمْ. وَقَالَ: مَنْ كَانَ هَمُّهُ الْآخِرَةَ؛ جَمَعَ اللهُ شَمْلَهُ،
وَجَعَلَ غِنَاهُ فِيْ قَلْبِهِ، وَأَتَتْهُ الدُّنْيَا وَهِيَ رَاغِمَةٌ، وَمَنْ
كَانَتْ نِيَّتُهُ الدُّنْيَا؛ فَرَّقَ اللهُ عَلَيْهِ ضَيْعَتَهُ، وَجَعَلَ
فَقْرَهُ بَيْنَ عَيْنَيْهِ، وَلَـمْ يَأْتِهِ مِنَ الدُّنْيَا إِلَّا مَا كُتِبَ
لَهُ.
“Semoga Allah
memberikan cahaya pada wajah orang yang mendengarkan sebuah hadits dari kami,
lalu menghafalkannya dan menyampaikannya kepada orang lain. Banyak orang yang
membawa fiqih namun ia tidak memahami. Dan banyak orang yang menerangkan fiqih
kepada orang yang lebih faham darinya. Ada tiga hal yang dengannya hati seorang
muslim akan bersih (dari khianat, dengki dan keberkahan), yaitu melakukan
sesuatu dengan ikhlas karena Allah, menasihati ulil amri (penguasa), dan
berpegang teguh pada jama’ah kaum Muslimin, karena do’a mereka meliputi
orang-orang yang berada di belakang mereka.” Beliau bersabda, “Barangsiapa yang
keinginannya adalah negeri akhirat, Allah akan mengumpulkan kekuatannya,
menjadikan kekayaan di hatinya, dan dunia akan mendatanginya dalam keadaan
hina. Namun barangsiapa yang niatnya mencari dunia, Allah akan
mencerai-beraikan urusan dunianya, menjadikan kefakiran di kedua pelupuk
matanya, dan ia mendapat dunia menurut apa yang telah ditetapkan baginya.” [27]
Seandainya keutamaan
ilmu hanyalah ini saja, tentu sudah cukuplah hal itu untuk menunjukkan
kemuliaannya. Sebab, Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam berdo’a bagi orang
yang mendengar sabda beliau, lalu memahaminya, menghafalnya, dan
menyampaikannya. Maka, inilah empat tingkatan ilmu:
Tingkatan pertama dan
kedua, yaitu mendengar dan memahaminya. Apabila ia mendengarnya, maka ia pun
memahami dengan hatinya. Maksudnya, memikirkan-nya dan menetapkannya di dalam
hatinya sebagaimana ditempatkannya sesuatu di dalam wadah yang tidak mungkin
bisa keluar darinya. Demikian juga akalnya yang laksana tali kekang unta,
sehingga ia tidak lari kesana-kemari. Wadah dan akal itu tidak mempunyai fungsi
lain selain untuk menyimpan sesuatu.
Tingkatan ketiga,
yaitu komitmen untuk menghafal ilmu agar ilmu tidak hilang.
Tingkatan keempat,
yaitu menyampaikan ilmu dan menyebarkannya kepada ummat agar ilmu membuahkan
hasilnya, yaitu tersebar luas di tengah-tengah masyarakat.
Barangsiapa melakukan
keempat tingkatan di atas, maka ia masuk dalam do’a Nabi shallallaahu ‘alaihi
wa sallam yang mencakup keindahan fisik dan psikis. Sesungguhnya kecerahan
adalah hasil dari pengaruh iman, kebahagiaan batin, kegembiraan hati dan
kesenangannya, kemudian hal itu menampakkan kecerahan, kebahagiaan, dan
berseri-serinya wajah. Allah Ta’ala berfirman:
تَعْرِفُ فِي وُجُوهِهِمْ نَضْرَةَ النَّعِيمِ
“Kamu dapat
mengetahui dari wajah mereka kesenangan hidup mereka yang penuh kenikmatan.”
[Al-Muthaffifiin: 24]
Jadi, kecerahan dan
berseri-serinya wajah seseorang yang mendengar Sunnah Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam, lalu memahami, menghafal, dan menyampaikannya adalah hasil
dari kemanisan, kecerahan, dan kebahagiaan di dalam hati dan jiwanya. [28]
Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam mendo’akan perawi hadits dengan kebaikan dan keelokan wajah,
baik di dunia maupun di akhirat. Dikatakan bahwa maknanya adalah Allah Ta’ala
menyampaikannya pada kenikmatan Surga.
Perawi hadits yang
dido’akan oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dengan keelokan wajah adalah
perawi lafazh hadits, meskipun ia belum memahami semua makna hadits. Betapa
banyak orang yang membawa fiqih kepada orang yang lebih faham daripadanya.
Meskipun selamanya ia tidak memiliki pemahaman terhadap hadits. Banyak pembawa
fiqih yang tidak memiliki pemahaman (yang memadai).
Ini menunjukkan
tentang disyari’atkannya meriwayatkan hadits tanpa (harus) memahaminya
(terlebih dahulu). Bahkan hal ini menunjukkan disukainya hal tersebut. Juga
menunjukkan bahwa meriwayatkan hadits tanpa pengetahuannya terhadap pemahaman
hadits tersebut adalah perbuatan terpuji, tidak tercela. Dengan perbuatan itu,
ia berhak mendapatkan do’a Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. [29]
12. Menuntut Ilmu
Adalah Jihad Di Jalan Allah Dan Orang Yang Menuntut Ilmu Laksana Mujahid Di
Jalan Allah Ta’ala
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda,
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda,
مَنْ دَخَلَ مَسْجِدَنَا هَذَا لِيَتَعَلَّمَ خَيْرًا أَوْ لِيُعَلِّمَهُ
كَانَ كَالْـمُجَاهِدِ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ، وَمَنْ دَخَلَهُ لِغَيْرِ ذَلِكَ
كَانَ كَالنَّاظِرِ إِلَى مَا لَيْسَ لَهُ.
“Barangsiapa yang
memasuki masjid kami ini (masjid Nabawi) dengan tujuan mempelajari kebaikan
atau mengajarkannya, maka ia laksana orang yang berjihad di jalan Allah Ta’ala.
Dan barangsiapa yang memasukinya dengan tujuan selain itu, maka ia laksana
orang yang sedang melihat sesuatu yang bukan miliknya.” [30]
Al-Imam Ibnul Qayyim
rahimahullaah mengatakan, “Jihad melawan hawa nafsu memiliki empat tingkatan:
Pertama: berjihad
untuk mempelajari petunjuk (ilmu yang bermanfaat) dan agama yang benar (amal
shalih). Seseorang tidak akan mencapai kesuksesan dan kebahagiaan di dunia dan
akhirat kecuali dengannya.
Kedua: berjihad untuk
mengamalkan ilmu setelah mengetahuinya.
Ketiga: berjihad
untuk mendakwahkan ilmu dan mengajarkannya kepada orang yang belum
mengetahuinya.
Keempat: berjihad
untuk sabar dalam berdakwah kepada Allah Ta’ala dan sabar terhadap gangguan
manusia. Dia menanggung kesulitan-kesulitan dakwah itu semata-mata karena
Allah.
Apabila keempat tingkatan ini telah terpenuhi pada dirinya, maka ia termasuk orang-orang yang Rabbani. [31]
Apabila keempat tingkatan ini telah terpenuhi pada dirinya, maka ia termasuk orang-orang yang Rabbani. [31]
Abu Darda
Radhiyallaahu ‘anhu mengatakan, “Barangsiapa berpendapat bahwa pergi mencari
ilmu tidak termasuk jihad, sungguh, ia kurang akalnya.” [32]
Berjihad dengan
hujjah (dalil) dan keterangan didahulukan atas jihad dengan pedang dan tombak.
Allah berfirman kepada Rasul-Nya shallallaahu ‘alaihi wa sallam agar berjihad
dengan Al-Qur-an melawan orang-orang kafir.
فَلَا تُطِعِ الْكَافِرِينَ وَجَاهِدْهُم بِهِ جِهَادًا كَبِيرًا
“Maka janganlah kamu
mengikuti orang-orang kafir, dan berjihadlah terhadap mereka dengan Al-Qur-an
dengan jihad yang besar.” [Al-Furqaan: 52]
Nabi Shallallaahu
‘alaihi wa sallam diperintahkan berjihad melawan orang-orang kafir dan munafik
dengan cara menyampaikan hujjah (dalil dan keterangan).
Imam Ibnul Qayyim rahimahullaah berkata, “Jihad dengan hujjah (dalil) dan keterangan didahulukan atas jihad dengan pedang dan tombak.” [33]
Imam Ibnul Qayyim rahimahullaah berkata, “Jihad dengan hujjah (dalil) dan keterangan didahulukan atas jihad dengan pedang dan tombak.” [33]
12. Pahala Ilmu Yang
Diajarkan Akan Tetap Mengalir Meskipun Pemiliknya Telah Meninggal Dunia
Disebutkan dalam Shahiih Muslim, dari Shahabat Abu Hurairah Radhiyallaahu ‘anhu, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,
Disebutkan dalam Shahiih Muslim, dari Shahabat Abu Hurairah Radhiyallaahu ‘anhu, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,
إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلاَثٍ: صَدَقَةٌ
جَارِيَةٌ، وَعِلْمٌ يُنْتَفَعُ بِهِ، وَ وَلَدٌ صَالِحٌ يَدْعُو لَهُ.
“Jika seorang manusia
meninggal dunia, maka pahala amalnya terputus, kecuali tiga hal: shadaqah
jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak shalih yang mendo’akannya.” [34]
Hadits ini adalah
dalil terkuat tentang keutamaan dan kemuliaan ilmu serta besarnya buah dari
ilmu. Sesungguhnya pahala ilmu tetap diterima oleh orang yang bersangkutan
selama ilmunya diamalkan orang lain. Seolah-olah ia tetap hidup dan amalnya
tidak terputus. Ini disamping kenangan dan sanjungan yang dialamatkan
kepadanya. Tetap mengalirnya pahala untuk dirinya pada saat pahala amal
perbuatan telah terputus dari manusia adalah kehidupan kedua baginya.
Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam hanya mengkhususkan ketiga hal di atas yang pahalanya tetap
diterima oleh si mayit karena ia (si mayit) adalah penyebab keberadaan ketiga
hal tersebut. Karena ia menjadi sebab terbentuknya anak shalih, shadaqah
jariyah, dan ilmu yang bermanfaat, maka pahalanya tetap mengalir kepadanya.
Seorang hamba mendapatkan pahala karena tindakannya langsung atau tindakan yang
dilahirkan (tindakan tidak langsung) darinya. Kedua prinsip ini disebutkan oleh
Allah Ta’ala dalam firman-Nya.
ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمْ لَا يُصِيبُهُمْ ظَمَأٌ وَلَا نَصَبٌ وَلَا مَخْمَصَةٌ
فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلَا يَطَئُونَ مَوْطِئًا يَغِيظُ الْكُفَّارَ وَلَا
يَنَالُونَ مِنْ عَدُوٍّ نَيْلًا إِلَّا كُتِبَ لَهُمْ بِهِ عَمَلٌ صَالِحٌ ۚ
إِنَّ اللَّهَ لَا يُضِيعُ أَجْرَ الْمُحْسِنِينَ
“Yang demikian itu
ialah karena mereka (para Mujahidin) tidak ditimpa kehausan, kepayahan dan
kelaparan pada jalan Allah. Dan tidak (pula) menginjak suatu tempat yang
membangkitkan amarah orang-orang kafir, dan tidak menimpakan suatu bencana
kepada musuh, kecuali (semua) itu akan dituliskan bagi mereka sebagai suatu
amal shalih. Sesungguhnya Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang
berbuat baik.” [At-Taubah: 120]
Kesemua hal di atas
lahir dari tindakan mereka dan tidak ditakdirkan bagi mereka. Yang ditakdirkan
bagi mereka ialah sebab-sebabnya yang mereka lakukan secara langsung.
Maksudnya, bahwa haus, payah, lapar, dan membangkitkan amarah musuh bukanlah
karena (sengaja) mereka lakukan demikian, lalu ditulis jadi amal shalih. Akan
tetapi, hal ini timbul dari perbuatan mereka (yaitu jihad fi sabilillaah)
karena itu ditulis bagi mereka sebagai amal shalih. [35]
13. Dengan Menuntut
Ilmu, Kita Akan Berfikir Yang Baik, Benar, Mendapatkan Pemahaman Yang Benar,
Dan Dapat Mentadabburi Ayat-Ayat Allah
‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz rahimahullaah mengatakan, “Memikirkan nikmat-nikmat Allah termasuk ibadah yang paling utama.” [36]
‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz rahimahullaah mengatakan, “Memikirkan nikmat-nikmat Allah termasuk ibadah yang paling utama.” [36]
Tidak ada sesuatu
yang lebih bermanfaat bagi hati daripada membaca Al-Qur-an dengan tadabbur dan
tafakkur. Karena hal itu mengumpulkan semua kedudukan orang yang berjalan
kepada Allah, keadaan orang-orang yang mengamalkan ilmunya, dan kedudukan
orang-orang yang bijaksana. Hal inilah yang mewariskan rasa cinta, rindu,
takut, harap, kembali kepada Allah, tawakkal, ridha, penyerahan diri, syukur, sabar
dan segala keadaan yang dengannya hati menjadi hidup dan sempurna.
Seandainya manusia
mengetahui apa yang terdapat dalam membaca Al-Qur-an dengan tadabbur, maka ia
akan lebih menyibukkan diri dengannya daripada selainnya. Apabila ia melewati
ayat yang dibutuhkannya untuk mengobati hatinya, maka ia akan mengulang-ulangnya
meskipun sampai seratus kali, walaupun ia menghabiskan satu malam. Membaca
Al-Qur-an dengan memikirkan dan memahaminya lebih baik daripada membacanya
sampai khatam tanpa mentadabburi dan memahaminya, lebih bermanfaat bagi hati
dan lebih membantu untuk memperoleh keimanan dan merasakan manisnya Al-Qur-an.
Membaca Al-Qur-an dengan memikirkannya adalah pokok kebaikan hati. [37]
Al-Hasan al-Bashri
rahimahullaah mengatakan, “Al-Qur-an diturunkan untuk diamalkan, maka
jadikanlah membacanya sebagai salah satu pengamalannya.” [38]
14. Ilmu Lebih Baik
Daripada Harta
Keutamaan ilmu atas harta dapat diketahui dari beberapa segi:
Pertama: Ilmu adalah warisan para Nabi, sedangkan harta adalah warisan para raja dan orang-orang kaya.
Keutamaan ilmu atas harta dapat diketahui dari beberapa segi:
Pertama: Ilmu adalah warisan para Nabi, sedangkan harta adalah warisan para raja dan orang-orang kaya.
Kedua : Ilmu akan
menjaga pemiliknya, sedangkan pemilik harta menjaga hartanya.
Ketiga : Ilmu adalah penguasa atas harta, sedangkan harta tidak berkuasa atas ilmu.
Keempat: Harta akan habis dengan dibelanjakan, sedangkan ilmu akan bertambah jika diajarkan.
Kelima: Apabila meninggal dunia, pemilik harta akan berpisah dengan hartanya, sedangkan ilmu akan masuk bersamanya ke dalam kubur.
Ketiga : Ilmu adalah penguasa atas harta, sedangkan harta tidak berkuasa atas ilmu.
Keempat: Harta akan habis dengan dibelanjakan, sedangkan ilmu akan bertambah jika diajarkan.
Kelima: Apabila meninggal dunia, pemilik harta akan berpisah dengan hartanya, sedangkan ilmu akan masuk bersamanya ke dalam kubur.
Keenam: Harta dapat
diperoleh orang-orang mukmin maupun kafir, orang baik maupun orang jahat.
Sedangkan ilmu yang bermanfaat hanya dapat diperoleh orang-orang yang beriman.
Ketujuh: Orang yang
berilmu dibutuhkan oleh para raja dan selain mereka, sedangkan pemilik harta
hanya dibutuhkan oleh orang-orang miskin.
Kedelapan: Jiwa akan
mulia dan bersih dengan mengumpulkan ilmu dan berusaha memperolehnya -hal itu
termasuk kesempurnaan dan kemuliaannya- sedangkan harta tidak membersihkannya,
tidak menyempurnakannya bahkan tidak menambah sifat kemuliaan.
Kesembilan: Harta itu
mengajak jiwa kepada bertindak sewenang-wenang dan sombong, sedangkan ilmu
mengajaknya untuk rendah hati dan melaksanakan ibadah.
Kesepuluh: Ilmu
membawa dan menarik jiwa kepada kebahagiaan yang Allah ciptakan untuknya,
sedangkan harta adalah penghalang antara jiwa dengan kebahagiaan tersebut.
Kesebelas: Kekayaan
ilmu lebih mulia daripada kekayaan harta karena kekayaan harta berada di luar
hakikat manusia, seandainya harta itu musnah dalam satu malam saja, jadilah ia
orang yang miskin, sedangkan kekayaan ilmu tidak dikhawatirkan kefakirannya,
bahkan ia akan terus bertambah selamanya, pada hakikatnya ia adalah kekayaan
yang paling tinggi.
Kedua belas:
Mencintai ilmu dan mencarinya adalah pokok segala ketaatan, sedangkan cinta
dunia dan harta dan mencarinya adalah pokok segala kesalahan.
Ketiga belas: Nilai
orang kaya ada pada hartanya dan nilai orang yang berilmu ada pada ilmunya.
Apabila hartanya lenyap, lenyaplah nilainya dan tidak tersisa tanpa nilai,
sedangkan orang yang berilmu nilai dirinya tetap langgeng, bahkan nilainya akan
terus bertambah.
Keempat belas:
Tidaklah satu orang melakukan ketaatan kepada Allah Ta’ala, melainkan dengan
ilmu, sedangkan sebagian besar manusia berbuat maksiat kepada Allah lantaran
harta mereka.
Kelima belas: Orang
yang kaya harta selalu ditemani dengan ketakutan dan kesedihan, ia sedih
sebelum mendapatkannya dan merasa takut setelah memperoleh harta, setiap kali
hartanya bertambah banyak, bertambah kuat pula rasa takutnya. Sedangkan orang
yang kaya ilmu selalu ditemani rasa aman, kebahagiaan, dan kegembiraan.
Wallaahu a’lam. [39]
Wallaahu a’lam. [39]
[Disalin dari buku
Menuntut Ilmu Jalan Menuju Surga “Panduan Menuntut Ilmu”, Penulis Yazid bin
Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka At-Taqwa, PO BOX 264 – Bogor 16001 Jawa
Barat – Indonesia, Cetakan Pertama Rabi’uts Tsani 1428H/April 2007M]
_______
Footnote
[1]. Al-‘Ilmu Fadhluhu wa Syarafuhu (hal. 21).
[2]. Hasan lighairihi: Diriwayatkan oleh al-‘Uqaily dalam adh-Dhu’afaa-ul Kabir (I/26), Ibnu Abi Hatim dalam al-Jarh wat Ta’dil (II/17) dan lainnya, dari Ibrahim bin ‘Abdurrahman al-‘Adzry secara mursal. Untuk lebih jelas tentang takhrij hadits ini dapat dilihat dalam Irsyaadul Fuhuul fii Tashhiih Hadiitsil ‘Udul (hal. 11-35) karya Syaikh Abu Usamah Salim bin ‘Ied al-Hilali.
[3]. Al-‘Ilmu Fadhluhu wa Syarafuhu (hal. 26).
[4]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (no. 817).
[5]. Dinukil dari al-‘Ilmu Fadhluhu wa Syarafuhu (hal. 220-221).
[6]. Al-‘Ilmu Fadhluhu wa Syarafuhu (hal. 223).
[7]. Al-‘Ilmu Fadhluhu wa Syarafuhu (hal. 238-239), dengan ringkas.
[8]. Diriwayatkan oleh ath-Thabrani dalam al-Kabir (no. 8927) dan Ibnu ‘Abdil Barr dalam al-Jaami’ (II/812, no. 1514).
[9]. Fadhlu ‘Ilmi Salaf ‘alal Khalaf (hal. 52).
[10]. Al-‘Ilmu Fadhluhu wa Syarafuhu (hal. 30).
[11]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Ahmad (IV/131), Abu Dawud (no. 4604), Ibnu Hibban (no. 12) dan lainnya, dari Miqdam bin Ma’di Kariba radhiyallaahu ‘anhu.
[12]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Ahmad (I/306, II/234, IV/92, 95, 96), al-Bukhari (no. 71, 3116, 7312), dan Muslim (no. 1037), dari Shahabat Mu’awiyah bin Abi Sufyan radhiyallaahu ‘anhuma.
[13]. Al-‘Ilmu Fadhluhu wa Syarafuhu (hal. 49).
[14]. Syarah Shahiih Muslim lil Imam an-Nawawi (VII/128).
[15]. Hadits hasan: Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi (no. 2322), Ibnu Majah (no. 4112), dan Ibnu ‘Abdil Barr (I/135, no. 135), dari Shahabat Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu. Lihat Shahiih at-Targhib wat Tarhiib (no. 74). Lafazh ini milik at-Tirmidzi.
[16]. Hadits hasan: Diriwayatkan oleh ath-Thabrani dalam Mu’jamul Ausath (no. 3972) dan al-Bazzar dari Hudzaifah bin al-Yaman radhiyallaahu ‘anhu, dihasankan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahiih at-Targhiib wat Tarhiib (no. 68), lihat juga Jaami’ Bayaanil ‘Ilmi wa Fadhlihi (I/106, no. 96).
[17]. Al-‘Ilmu Fadhluhu wa Syarafuhu (hal. 133).
[18]. Diriwayatkan oleh al-Khathib dalam al-Faqiih wal Mutafaqqih (I/102, no. 52).
[19]. Al-‘Ilmu Fadhluhu wa Syarafuhu (hal. 133).
[20]. Jaami’ Bayaanil ‘Ilmi wa Fadhlihi (I/120, no. 113).
[21]. Jaami’ Bayaanil ‘Ilmi wa Fadhlihi (I/211, no. 227).
[22]. Al-‘Ilmu Fadhluhu wa Syarafuhu (hal. 135).
[23]. Al-‘Ilmu Fadhluhu wa Syarafuhu (hal. 141) dan Jaami’ Bayaanil ‘Ilmi wa Fadhlihi (I/229-230, no. 252 dan 253).
[24]. Jaami’ Bayaanil ‘Ilmi wa Fadhlihi (I/230, no. 254).
[25]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Imam Ahmad (IV/230-231), at-Tirmidzi (no. 2325), Ibnu Majah (no. 4228), al-Baihaqi (IV/ 189), al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah (XIV/289), dan ath-Thabrani dalam Mu’jamul Kabir (XXII/345-346, no. 868-870), dari Shahabat Abu Kabsyah al-Anmari radhiyallaahu ‘anhu. Lihat Shahiih Sunan at-Tirmidzi (II/270, no. 1894).
[26]. Al-‘Ilmu Fadhluhu wa Syarfuhu (hal. 252-253).
[27]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Ahmad (V/183), ad-Darimi
(I/75), Ibnu Hibban (no. 72, 73-Mawaarid), Ibnu ‘Abdil Barr dalam Jaami’ Bayaanil ‘Ilmi wa Fadhlihi (I/175-176, no. 184), lafazh hadits ini milik Imam Ahmad, dari ‘Abdurrahman bin Aban bin ‘Utsman radhiyallaahu ‘anhum. Lihat Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahiihah (no. 404) dan al-‘Ilmu Fadhluhu wa Syarafuhu (hal. 70-74).
[28]. Al-‘Ilmu Fadhluhu wa Syarfuhu (hal. 70-72).
[29]. Lihat Nashaa-ih Manhajiyyah li Thaalibis Sunnah an-Nabawiyyah (hal. 38-39).
[30]. Hadits hasan: Diriwayatkan oleh Ibnu Hibban (no. 87-at-Ta’liiqaatul Hisaan), Ibnu Majah (no. 227), Ahmad (II/350, 526-527), Ibnu Abi Syaibah (no. 33061), dan al-Hakim (I/91), dari Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu.
[31]. Zaadul Ma’aad fii Hadyi Khairil ‘Ibaad (III/10). Lihat Syarah Tsa-latsatil Ushuul (hal. 25-26), karya Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullaah.
[32]. Al-‘Ilmu Fadhluhu wa Syarafuhu (hal. 145).
[33]. Syarah Qashidah Nuuniyyah (I/12) oleh Syaikh Muhammad Khalil Hirras.
[34]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (no. 1631), al-Bukhari dalam Adabul Mufrad (no. 38), Abu Dawud (no. 2880), an-Nasa-i (VI/251), at-Tirmidzi (no. 1376), Ahmad (II/372), al-Baihaqi (VI/ 278), lafazh ini milik at-Tirmidzi. Lihat Irwaa-ul Ghaliil (no. 1580).
[35]. Lihat al-‘Ilmu Fadhluhu wa Syarafuhu (hal. 242-243).
[36]. Al-‘Ilmu Fadhluhu wa Syarafuhu (hal. 254).
[37]. Al-‘Ilmu Fadhluhu wa Syarafuhu (hal. 262).
[38]. Al-‘Ilmu Fadhluhu wa Syarafuhu (hal. 263).
[39]. Lihat kitab al-‘Ilmu Fadhluhu wa Syarafuhu (hal. 160-163).
_______
Footnote
[1]. Al-‘Ilmu Fadhluhu wa Syarafuhu (hal. 21).
[2]. Hasan lighairihi: Diriwayatkan oleh al-‘Uqaily dalam adh-Dhu’afaa-ul Kabir (I/26), Ibnu Abi Hatim dalam al-Jarh wat Ta’dil (II/17) dan lainnya, dari Ibrahim bin ‘Abdurrahman al-‘Adzry secara mursal. Untuk lebih jelas tentang takhrij hadits ini dapat dilihat dalam Irsyaadul Fuhuul fii Tashhiih Hadiitsil ‘Udul (hal. 11-35) karya Syaikh Abu Usamah Salim bin ‘Ied al-Hilali.
[3]. Al-‘Ilmu Fadhluhu wa Syarafuhu (hal. 26).
[4]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (no. 817).
[5]. Dinukil dari al-‘Ilmu Fadhluhu wa Syarafuhu (hal. 220-221).
[6]. Al-‘Ilmu Fadhluhu wa Syarafuhu (hal. 223).
[7]. Al-‘Ilmu Fadhluhu wa Syarafuhu (hal. 238-239), dengan ringkas.
[8]. Diriwayatkan oleh ath-Thabrani dalam al-Kabir (no. 8927) dan Ibnu ‘Abdil Barr dalam al-Jaami’ (II/812, no. 1514).
[9]. Fadhlu ‘Ilmi Salaf ‘alal Khalaf (hal. 52).
[10]. Al-‘Ilmu Fadhluhu wa Syarafuhu (hal. 30).
[11]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Ahmad (IV/131), Abu Dawud (no. 4604), Ibnu Hibban (no. 12) dan lainnya, dari Miqdam bin Ma’di Kariba radhiyallaahu ‘anhu.
[12]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Ahmad (I/306, II/234, IV/92, 95, 96), al-Bukhari (no. 71, 3116, 7312), dan Muslim (no. 1037), dari Shahabat Mu’awiyah bin Abi Sufyan radhiyallaahu ‘anhuma.
[13]. Al-‘Ilmu Fadhluhu wa Syarafuhu (hal. 49).
[14]. Syarah Shahiih Muslim lil Imam an-Nawawi (VII/128).
[15]. Hadits hasan: Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi (no. 2322), Ibnu Majah (no. 4112), dan Ibnu ‘Abdil Barr (I/135, no. 135), dari Shahabat Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu. Lihat Shahiih at-Targhib wat Tarhiib (no. 74). Lafazh ini milik at-Tirmidzi.
[16]. Hadits hasan: Diriwayatkan oleh ath-Thabrani dalam Mu’jamul Ausath (no. 3972) dan al-Bazzar dari Hudzaifah bin al-Yaman radhiyallaahu ‘anhu, dihasankan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahiih at-Targhiib wat Tarhiib (no. 68), lihat juga Jaami’ Bayaanil ‘Ilmi wa Fadhlihi (I/106, no. 96).
[17]. Al-‘Ilmu Fadhluhu wa Syarafuhu (hal. 133).
[18]. Diriwayatkan oleh al-Khathib dalam al-Faqiih wal Mutafaqqih (I/102, no. 52).
[19]. Al-‘Ilmu Fadhluhu wa Syarafuhu (hal. 133).
[20]. Jaami’ Bayaanil ‘Ilmi wa Fadhlihi (I/120, no. 113).
[21]. Jaami’ Bayaanil ‘Ilmi wa Fadhlihi (I/211, no. 227).
[22]. Al-‘Ilmu Fadhluhu wa Syarafuhu (hal. 135).
[23]. Al-‘Ilmu Fadhluhu wa Syarafuhu (hal. 141) dan Jaami’ Bayaanil ‘Ilmi wa Fadhlihi (I/229-230, no. 252 dan 253).
[24]. Jaami’ Bayaanil ‘Ilmi wa Fadhlihi (I/230, no. 254).
[25]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Imam Ahmad (IV/230-231), at-Tirmidzi (no. 2325), Ibnu Majah (no. 4228), al-Baihaqi (IV/ 189), al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah (XIV/289), dan ath-Thabrani dalam Mu’jamul Kabir (XXII/345-346, no. 868-870), dari Shahabat Abu Kabsyah al-Anmari radhiyallaahu ‘anhu. Lihat Shahiih Sunan at-Tirmidzi (II/270, no. 1894).
[26]. Al-‘Ilmu Fadhluhu wa Syarfuhu (hal. 252-253).
[27]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Ahmad (V/183), ad-Darimi
(I/75), Ibnu Hibban (no. 72, 73-Mawaarid), Ibnu ‘Abdil Barr dalam Jaami’ Bayaanil ‘Ilmi wa Fadhlihi (I/175-176, no. 184), lafazh hadits ini milik Imam Ahmad, dari ‘Abdurrahman bin Aban bin ‘Utsman radhiyallaahu ‘anhum. Lihat Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahiihah (no. 404) dan al-‘Ilmu Fadhluhu wa Syarafuhu (hal. 70-74).
[28]. Al-‘Ilmu Fadhluhu wa Syarfuhu (hal. 70-72).
[29]. Lihat Nashaa-ih Manhajiyyah li Thaalibis Sunnah an-Nabawiyyah (hal. 38-39).
[30]. Hadits hasan: Diriwayatkan oleh Ibnu Hibban (no. 87-at-Ta’liiqaatul Hisaan), Ibnu Majah (no. 227), Ahmad (II/350, 526-527), Ibnu Abi Syaibah (no. 33061), dan al-Hakim (I/91), dari Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu.
[31]. Zaadul Ma’aad fii Hadyi Khairil ‘Ibaad (III/10). Lihat Syarah Tsa-latsatil Ushuul (hal. 25-26), karya Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullaah.
[32]. Al-‘Ilmu Fadhluhu wa Syarafuhu (hal. 145).
[33]. Syarah Qashidah Nuuniyyah (I/12) oleh Syaikh Muhammad Khalil Hirras.
[34]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (no. 1631), al-Bukhari dalam Adabul Mufrad (no. 38), Abu Dawud (no. 2880), an-Nasa-i (VI/251), at-Tirmidzi (no. 1376), Ahmad (II/372), al-Baihaqi (VI/ 278), lafazh ini milik at-Tirmidzi. Lihat Irwaa-ul Ghaliil (no. 1580).
[35]. Lihat al-‘Ilmu Fadhluhu wa Syarafuhu (hal. 242-243).
[36]. Al-‘Ilmu Fadhluhu wa Syarafuhu (hal. 254).
[37]. Al-‘Ilmu Fadhluhu wa Syarafuhu (hal. 262).
[38]. Al-‘Ilmu Fadhluhu wa Syarafuhu (hal. 263).
[39]. Lihat kitab al-‘Ilmu Fadhluhu wa Syarafuhu (hal. 160-163).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar