عَنْ أَنَسِ بنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ، قَالَ
: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ : (( قَالَ اللهُ تَبَارَكَ وَ تَعَالَـى : يَا ابْنَ آدَمَ
، إنَّكَ مَا دَعَوْتَنِيْ وَرَجَوْتَنِيْ غَفَرْتُ لَكَ عَلَى مَا كَانَ فِيْكَ
وَلَا أُبَالِيْ ، يَا ابْنَ آدَمَ لَوْ بَلَغَتْ ذُنُوبُكَ عَنَانَ السَّمَاءِ ،
ثُمَّ اسْتَغفَرْتَنِيْ ، غَفَرْتُ لَكَ وَلَا أُبَالِيْ ، يَا ابْنَ آدَمَ
إِنَّكَ لَوْ أَتَيْتَنِيْ بِقُرَابِ الْأَرْضِ خَطَايَا ، ثُمَّ لَقِيتَنيْ لَا
تُشْرِكُ بِيْ شَيْئًا ، لَأَتَيْتُكَ بِقُرَابهَا مَغْفِرَةً )).
Dari Anas
bin Mâlik Radhiyallahu anhu ia berkata, “Aku mendengar Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Allâh
Azza wa Jalla berfirman, ‘Hai anak Adam! Sesungguhnya selama engkau berdo’a dan
berharap hanya kepada-Ku, niscaya Aku mengampuni dosa-dosa yang telah engkau
lakukan dan Aku tidak peduli. Wahai anak Adam ! Seandainya dosa-dosamu setinggi
langit, kemudian engkau minta ampunan kepada-Ku, niscaya Aku mengampunimu dan
Aku tidak peduli. Wahai anak Adam ! Jika engkau datang kepadaku dengan membawa
dosa-dosa yang hampir memenuhi bumi kemudian engkau bertemu dengan-Ku dalam
keadaan tidak mempersekutukan-Ku dengan sesuatu pun, niscaya Aku datang
kepadamu dengan memberikan ampunan sepenuh bumi.” [HR. at-Tirmidzi, dan beliau berkata: Hadits ini
hasan shahih].
TAKHRIJ
HADITS
Hadits shahih diriwayatkan oleh at-Tirmidzi (no. 3540) dan ini lafazhnya.
Tirmidzi rahimahullah berkata, “Hadits ini hasan gharib.”
Syaikh al-Albani rahimahullah berkata, “Hadits ini hasan sebagaimana yang
dikatakan oleh at-Tirmidzi. Hadits ini mempunyai syawâhid (penguat) dari hadits
Abu Dzar Radhiyallahu anhu . Diriwayatkan oleh ad-Dârimi rahimahullah (II/322)
dan Ahmad (V/167, 172), padanya ada rawi yang lemah. Akan tetapi hadits ini
karena memiliki banyak syawahid, maka dihasankan oleh al-Albâni rahimahullah
dalam Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah (no. 127). Bahkan dalam kitab Hidâyatur
Ruwât (no. 2276) ketika mengomentari hadits ini, beliau rahimahullah berkata,
“Hadits ini hasan, sebagaimana dikatakan oleh at-Tirmidzi rahimahullah, dengan
syahid-nya yang sudah disebutkan, bahkan hadits ini shahih, karena mempunyai
dua syahid (penguat) yang lainnya. Saya sudah takhrîj di Silsilah al-Ahâdîts
ash-Shahîhah (no. 128, 903, dan 195). [Lihat Hidâyatur Ruwât ila Takhrîji
Ahâdîtsil Mashâbîh wal Misykât (II/447-448].
SYARAH HADITS
Tiga Syarat Mendapatkan Ampunan[1]
Hadits ini menyebutkan tiga hal untuk mendapatkan ampunan :
Pertama
: Berdo’a disertai Harapan
يَا ابْنَ آدَمَ ، إنَّكَ مَا دَعَوْتَنِيْ
وَرَجَوْتَنِيْ غَفَرْتُ لَكَ عَلَى مَا كَانَ فِيْكَ وَلَا أُبَالِيْ
Hai anak Adam! Sesungguhnya selama engkau berdo’a dan berharap hanya
kepada-Ku, niscaya Aku mengampuni dosa-dosa yang telah engkau lakukan dan Aku
tidak peduli
Berdo’a disertai harapan, karena do’a diperintahkan dan dijanjikan untuk
dikabulkan. Allâh Azza wa Jalla berfirman,
وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ ۚ
“Dan Rabbmu berfirman, ‘Berdo’alah kepada-Ku, niscaya akan Aku perkenankan bagimu…” [Ghâfir/40:60]
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, yang artinya, “Do’a
adalah ibadah.” Kemudian beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam membacakan ayat
di atas.[2]
Namun do’a akan dikabulkan jika syarat-syaratnya terpenuhi dan tidak ada
penghalang-penghalangnya. Terkadang pengabulan do’a tertunda karena tidak
sebagian syaratnya tidak ada atau ada penghalangnya. Diantara syarat
terkabulnya do’a ialah kehadiran hati dan mengharap kepada Allâh Azza wa Jalla
agar dikabulkan. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
اُدْعُوا اللّٰـهَ وَأَنْتُمْ مُوْقِنُوْنَ
بِالْإِجَابَةِ ، وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللّٰـهَ تَعَالَـى لَا يَسْتَجِيْبُ دُعَاءً
مِنْ قَلْبٍ غَافِلٍ لَاهٍ
Berdo’alah kepada Allâh dalam keadaan yakin akan dikabulkan dan ketahuilah
Allâh tidak akan mengabulkan do’a dari hati yang lalai dan lengah[3].
Oleh karena itu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang seseorang
berdo’a dengan lafazh :
اَللّٰـهُمَّ اغْفِرْ لِـيْ إِنْ شِئْتَ ، وَلٰكِنْ
لِيَعْزِمِ الْـمَسْأَلَةَ ؛ فَإِنَّ اللهَ لَا مُكْرِهَ لَهُ
“Ya Allâh, ampunilah aku jika Engkau berkehendak,” namun hendaklah ia serius dalam meminta karena Allâh tidak bisa dipaksa
oleh apapun.[4]
Dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga melarang tergesa-gesa dalam
meminta pengabulan do’a lalu meninggalkan do’a karena tidak kunjung dikabulkan.
Ini termasuk salah satu penghalang terkabulnya do’a. Kita dilarang tergesa-gesa
pengabulan do’a supaya tidak putus harapan terhadap pengabulan do’anya kendati
memakan waktu yang cukup lama, karena Allâh Azza wa Jalla mencintai orang-orang
yang penuh harap dan mendesak dalam do’anya.
Allâh Azza wa Jalla berfirman, yang artinya, “…Berdo’alah kepada-Nya dengan
rasa takut dan penuh harap. Sesungguhnya rahmat Allâh sangat dekat kepada orang
yang berbuat kebaikan.” [al-A’râf/7: 56]
Jadi, selagi seorang hamba mendesak dalam do’anya dan menginginkan do’anya
dikabulkan tanpa memutus harapan, maka kemungkinan pengabulan do’anya semakin
besar.
Di antara hal penting yang harus diminta seorang hamba kepada Rabbnya ialah
memohon pengampunan terhadap dosa-dosanya atau hal lain yang berkaitan
dengannya, seperti mohon agar selamat dari neraka dan masuk surga. Ketika Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendengar seseorang berdo’a dalam shalatnya
memohon surga dan dijauhkan dari api Neraka, maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda :
حَوْلَهَـا
نُدَنْدِنُ
Diseputar (permasalahan) itulah kita selalu berdo’a.[5]
Diantara rahmat Allâh Azza wa Jalla kepada hamba-Nya ialah Allâh Azza wa
Jalla mengalihkan kebutuhan dunia yang dimohon seorang hamba dari hamba
tersebut dan menggantinya dengan sesuatu yang lebih baik, misalnya dengan
menyelamatkannya dari keburukan atau pengabulannya ditunda di akhirat atau
dosanya terampunkan karenanya.
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَدْعُوْ بِدَعْوَةٍ لَيْسَ فِيْهِ
إِثْمٌ وَلَا قَطِيْعَةُ رَحِمٍ إِلَّا أَعْطَاهُ اللهُ بِهَا إِحْدَى ثَلَاثٍ :
إِمَّا أَنْ تُعَجَّلَ لَهُ دَعْوَتُهُ ، وَإِمَّا أَنْ يَدَّخِرَهَا لَهُ فِـي
الْآخِرَةِ ، وَإِمَّا أَنْ يَصْرِفَ عَنْهُ مِنَ السُّوْءِ مِثْلَهَـا. قَالُوْا:
إِذًا نُكْثِرُ. قَالَ: اللهُ أكْثَرُ
Tidaklah seorang Muslim berdo’a dengan do’a yang tidak mengandung dosa dan
pemutusan silaturahim, melainkan Allâh pasti akan memberinya satu dari tiga hal
(yaitu) dikabulkan do’anya dengan segera, atau Dia akan menyimpan do’a tersebut
baginya di akhirat kelak, atau Dia akan menghindarkan darinya keburukan yang
semisalnya.” Maka para Shahabat pun berkata, “Kalau begitu, kita memperbanyak
(berdo’a).” Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Allâh lebih banyak
(memberikan pahala).”[6]
Kesimpulannya, berdo’a mohon ampunan dengan mendesak disertai harapan kepada
Allâh Azza wa Jalla itu menghasilkan ampunan.
Di antara faktor terpenting terampunkannya dosa ialah tidak mengharapkan
pengampunan kepada selain Allâh Azza wa Jalla jika ia mengerjakan dosa. Karena
ia tahu yang bisa mengampuninya dan menyiksanya dengan sebab dosa hanyalah
Allâh Azza wa Jalla .
Firman Allâh Azza wa Jalla dalam hadits qudsi di atas, yang artinya, “Hai
anak keturunan Adam ! Sesungguhnya selama engkau berdo’a dan berharap
kepada-Ku, Aku mengampuni atas apa saja (dosa) darimu dan Aku tidak peduli…”
Maksudnya, kendati dosa-dosa dan kesalahanmu amat banyak, itu semua tidak
terlalu besar bagi-Ku dan Aku tidak menganggapnya banyak.
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
إِذَا دَعَا أَحَدُكُمْ فَلْيُعْظِمِ الرَّغْبَةَ ؛
فَإِنَّهُ لَا يَتَعَاظَمُ عَلَى اللّٰـهِ شَيْءٌ
Jika salah seorang dari kalian berdo’a, maka hendaklah ia memperbesarkan
keinginannya karena tidak ada satupun yang sulit dan besar bagi Allâh[7]
Kendati dosa-dosa seorang hamba itu besar, namun maaf dan ampunan Allâh
lebih besar daripada dosa-dosa tersebut. Allâh Azza wa Jalla berfirman, yang
artinya, “Katakanlah, ‘Wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri
mereka sendiri! Janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allâh. Sesugguhnya
Allâh mengampuni dosa-dosa semuanya. Sungguh, Dialah Yang Maha Pengampun, Maha
Penyayang.” [az-Zumar/39:53]
Kedua
: Senantiasa istighfâr
يَا ابْنَ آدَمَ لَوْ بَلَغَتْ ذُنُوبُكَ عَنَانَ
السَّمَاءِ ، ثُمَّ اسْتَغفَرْتَنِيْ ، غَفَرْتُ لَكَ وَلَا أُبَالِيْ.
Hai anak Adam ! Seandainya dosa-dosamu setinggi langit, kemudian engkau
minta ampunan kepada-Ku, niscaya Aku mengampunimu dan Aku tidak peduli
Istighfâr ialah meminta maghfirah (ampunan) sementara maghfirah adalah
perlindungan dari pengaruh buruk dosa-dosa.
Istighfâr banyak sekali disebutkan dalam al-Qur’ân, terkadang
diperintahkan, terkadang Allâh memuji orang yang beristighfâr dan terkadang
Allâh menyebutkan bahwa Dia mengampuni orang yang beristighfâr. Dan terbanyak
Allâh menyebutkan istighfâr diiringi dengan taubat.
Allâh Azza wa Jalla berfirman, yang artinya, “…Dan mohonlah ampunan kepada
Allâh. Sungguh, Allâh Maha Pengampun, Maha Penyayang.” [al-Baqarah/2:199]
Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman, yang artinya, “Dan hendaklah kamu
memohon ampunan kepada Rabb-mu dan bertaubat kepada-Nya…” [Hûd/11:3]
Terkadang Allâh Azza wa Jalla memuji orang-orang yang beristighfâr,
misalnya dalam firman-Nya,
وَالْمُسْتَغْفِرِينَ
بِالْأَسْحَارِ
“…Dan orang
yang memohon ampunan pada waktu sebelum fajar.” [Ali ‘Imrân/3:17]
Terkadang
al-Qur’ân menyebutkan bahwa Allâh mengampuni orang-orang yang beristighfâr
kepada-Nya, seperti dalam firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala :
وَمَنْ يَعْمَلْ سُوءًا أَوْ يَظْلِمْ نَفْسَهُ ثُمَّ
يَسْتَغْفِرِ اللَّهَ يَجِدِ اللَّهَ غَفُورًا رَحِيمًا
Dan barangsiapa berbuat kejahatan dan menganiaya dirinya, kemudian dia
memohon ampunan (kepada Allâh), niscaya dia akan mendapatkan Allâh Maha
Pengampun, Maha Penyayang.” [an-Nisâ’/4:110]
Seringkali kata istighfâr disebutkan beriringan dengan kata taubat. Ketika
kedua kata ini beriringan, maka istighfâr itu artinya permohonan ampun dengan
lisan, sedangkan taubat artinya berhenti dari dosa-dosa dengan hati dan seluruh
organ tubuh.
Syarat-syarat taubat menurut para Ulama :
1. Berhenti dari semua
dosa dan maksiat
2.
Menyesali perbuatan dosa yang dilakukan.
3. Berkemauan keras dan
bertekad untuk tidak mengulangi lagi perbuatan dosa tersebut.
Allâh Azza wa Jalla berfirman :
وَأَنِ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ ثُمَّ تُوبُوا إِلَيْهِ
يُمَتِّعْكُمْ مَتَاعًا حَسَنًا إِلَىٰ أَجَلٍ مُسَمًّى وَيُؤْتِ كُلَّ ذِي فَضْلٍ
فَضْلَهُ ۖ وَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنِّي أَخَافُ عَلَيْكُمْ عَذَابَ يَوْمٍ كَبِيرٍ
Dan hendaklah kamu memohon ampunan kepada Rabb-mu dan bertaubat kepada-Nya,
niscaya Dia akan memberi kenikmatan yang baik kepadamu sampai waktu yang telah
ditentukan. Dan Dia akan memberikan karunia-Nya kepada setiap orang yang
berbuat baik. Dan jika kamu berpaling, maka sungguh, aku takut kamu akan
ditimpa adzab pada hari yang besar (Kiamat).[Hûd/11:3]
al-Hâfizh Ibnu Katsîr rahimahullah ketika menafsirkan ayat ini mengatakan,
“(yaitu) Aku memerintahkan kalian untuk beristighfâr (memohon ampunan) dari
dosa-dosa yang telah lalu, dan bertaubat kepada Allâh Azza wa Jalla di
masa-masa yang akan datang , dan teruslah begitu, (niscaya Dia akan memberi
kenikmatan yang baik kepada-mu) yaitu di dunia, (sampai waktu yang telah
ditentukan. Dan Dia akan memberikan karunia-Nya kepada setiap orang yang
berbuat baik) yaitu di akhirat.[8]
Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di rahimahullah berkata, “(Dan
hendaklah kamu memohon ampunan kepada Rabbmu) yaitu mohon ampuan dari dosa-dosa
yang telah engkau perbuat, (Dan bertaubat kepada-Nya) yaitu bertaubatlah pada
masa kalian yang akan datang dengan kembali kepada-Nya, bertaubat dan kembali
kepada-Nya dari apa-apa yang dibenci Allâh kepada yang dicintai dan
diridhai-Nya.[9]
Syaikh ‘Abdul Mâlik Ramdhani berkata, “Aku berkata, ‘Dengan ini, menjadi
jelas bagimu rahasia dikaitkannya taubat dengan istighfâr, seperti dalam firman
Allâh Azza wa Jalla , yang artinya, “Mengapa mereka tidak bertaubat kepada
Allâh dan memohon ampunan kepada-Nya ? Allâh Maha pengampun, Maha penyayang.”
[al-Mâidah/5:74].
Jadi, istighfâr adalah meninggalkan dosa-dosa yang telah lalu, sementara
taubat adalah tidak terus menerus dalam perbuatan (dosa) pada waktu yang akan datang.
Dan Allâh telah menggabungkan keduanya dalam satu ayat dalam firman-Nya :
وَالَّذِينَ إِذَا فَعَلُوا فَاحِشَةً أَوْ ظَلَمُوا
أَنْفُسَهُمْ ذَكَرُوا اللَّهَ فَاسْتَغْفَرُوا لِذُنُوبِهِمْ وَمَنْ يَغْفِرُ
الذُّنُوبَ إِلَّا اللَّهُ وَلَمْ يُصِرُّوا عَلَىٰ مَا فَعَلُوا وَهُمْ
يَعْلَمُونَ
Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau
menzhalimi diri sendiri, (segera) mengingat Allâh, lalu memohon ampunan atas
dosa-dosanya, dan siapa (lagi) yang dapat mengampuni dosa-dosa selain Allâh? Dan
mereka tidak meneruskan perbuatan dosa itu, sedang mereka mengetahui.” [Ali
‘Imrân/3:135] [10]
Terkadang kata istighfâr disebutkan sendiri dan bisa membuahkan ampunan
seperti disebutkan dalam hadits bab ini dan hadits-hadits yang semakna. Ada
yang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan istighfâr (bila disebutkan
sendirian) adalah istighfâr yang diiringi taubat. Ada juga yang menyebutkan
bahwa nash-nash istighfâr yang disebutkan sendirian itu mutlak, dengan syarat
tidak terus-menerus dalam perbuatan dosa, sebagaimana disebutkan dalam surat
Ali Imrân/3:135. Allâh telah menjanjikan ampunan bagi orang yang beristighfâr
kepada-Nya dari dosa-dosanya dan tidak terus-menerus mengerjakannya. Jadi,
nash-nash istighfâr yang masih bersifat mutlak itu dibawa pengertiannya ke
makna ini.
Dalam hadits dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu dari Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam ,
أَذْنَبَ عَبْدٌ ذَنْبًا ، فَقَالَ: اَللَّهُمَّ
اغْفِرْلِيْ ذَنْبِيْ. فَقَالَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى: أَذْنَبَ عَبْدِيْ ذَنْبًا
فَعَلِمَ أَنَّ لَهُ رَبًّا يَغْفِرُ الذَّنْبَ وَيَأْخُذُ بِالذَّنْبِ . ثُمَّ
عَادَ فَأَذْنَبَ ، فَقَالَ: أيْ رَبِّ اغْفِرْ لِيْ ذَنْبِيْ. فَقَالَ تَبَارَكَ
وَتَعَالَى: عَبْدِيْ أَذْنَبَ ذَنْبًا فَعَلِمَ أَنَّ لَهُ رَبًّا يَغْفِرُ
الذَّنْبَ وَيَأْخُذُ بِالذَّنْبِ . ثُمَّ عَادَ فَأَذْنَبَ ، فَقَالَ: أيْ رَبِّ
اغْفِرْ لِيْ ذَنْبِيْ. فَقَالَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى: أَذْنَبَ عَبْدِيْ ذَنْبًا
فَعَلِمَ أَنَّ لَهُ رَبًّا يَغْفِرُ الذَّنْبَ وَيَأْخُذُ بِالذَّنْبِ ، اِعْمَلْ
مَا شِئْتَ فَقَدْ غَفَرْتُ لَكَ .
Seorang hamba mengerjakan dosa kemudian berkata, ‘Ya Allâh, ampunilah aku.’
Allâh Azza wa Jalla berfirman, ‘Hamba-Ku mengerjakan dosa dan ia tahu bahwa ia
mempunyai Rabb yang mengampuni dosa dan menyiksa karenanya.’ Kemudian hamba
tersebut berbuat dosa lagi, lalu berkata, ‘Wahai Rabbku, ampunilah dosaku.’
Allâh Azza wa Jalla berfirman, ‘Hamba-Ku berbuat dosa dan ia tahu bahwa ia
memiliki Rabb yang mengampuni dosa dan menyiksa karenanya.’ Kemudian hamba
tersebut berbuat dosa lagi, lalu berkata, ‘Wahai Rabbku, ampunilah dosaku.’
Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman, ‘Hambaku berbuat dosa dan ia tahu bahwa ia
memiliki Rabb yang mengampuni dosa dan menyiksa karenanya, berbuatlah sesuka
engkau, Aku telah mengampunimu.’”[11]
Maksudnya, orang tersebut selalu dalam kondisi seperti itu, jika ia berbuat
dosa, ia beristighfâr yang disertai sikap tidak terus-menerus berbuat dosa.
Terkadang sikap terus menerus berbuat dosa menjadi penghalang terkabulnya
do’a. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
وَيْلٌ لِلْمُصِرِّيْنَ الَّذِيْنَ يُصِرُّوْنَ عَلَى
مَا فَعَلُوْا وَهُمْ يَعْلَمُوْن
Celakalah bagi orang-orang yang terus menerus mengerjakan apa yang telah
mereka kerjakan (dosa) padahal mereka tahu.[12]
Istighfâr yang paling sempurna adalah istighfâr yang disertai dengan sikap
meninggalkan perbuatan dosa. Itulah taubat nashuuh (hakiki). Jika ada orang
berkata, “Aku memohon ampunan kepada Allâh.” Namun hatinya tidak berkeinginan
untuk berhenti dari dosa, maka ucapannya itu hanyalah do’a semata atau murni
seperti orang yang berdo’a, “Ya Allâh, ampunilah aku.” Do’a tersebut baik dan
ada harapan do’anya dikabulkan. Orang yang mengatakan bahwa itu taubatnya para
pembohong, maka yang dimaksud ialah taubatnya ini bukan taubat yang diyakini
kebanyakan manusia. Karena taubat seseorang tidak sah jika ia terus-menerus
berbuat dosa.
Diriwayatkan dari Hudzaifah Radhiyallahu anhu , ia berkata, “Cukuplah
seseorang dikatakan pembohong jika ia berkata, ‘Aku minta ampunan kepada
Allâh,’ kemudian ia mengulangi dosanya.”
Istighfâr yang paling baik ialah pertama-tama seorang hamba menyanjung
Allâh Subhanahu wa Ta’ala , kemudian mengakui dosa-dosanya, kemudian minta
ampun kepada-Nya, seperti disebutkan hadits dari Syaddad bin Aus Radhiyallahu
anhu. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sayyidul istighfâr (istighfâr
yang paling utama) ialah seorang hamba berkata :
اللَّهُمَّ أَنْتَ رَبِّيْ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ،
خَلَقْتَنِيْ وَأَنَا عَبْدُكَ، وَأَنَا عَلَى عَهْدِكَ، وَوَعْدِكَ مَا
اسْتَطَعْتُ، أَعُوْذُ بِكَ مِنْ شَرِّ مَا صَنَعْتُ، أَبُوْءُ لَكَ بِنِعْمَتِكَ
عَلَيَّ وَأَبُوْءُ بِذَنْبِيْ فَاغْفِرْليِْ، فَإِنَّهُ لَا يَغْفِرُ الذُّنُوْبَ
إِلَّا أَنْتَ.
Ya Allâh, Engkau adalah Rabbku, tidak ada ilah yang berhak diibadahi
kecuali Engkau. Engkaulah yang menciptakanku dan aku adalah hamba-Mu. Aku
(yakin) dengan janji-Mu dan aku akan setia pada perjanjianku dengan-Mu
semampuku. Aku berlindung kepada-Mu dari keburukan apa saja yang telah aku
perbuat. Aku mengakui nikmat-Mu (yang diberikan) kepadaku, aku mengakui dosaku,
oleh karena itu, ampunilah aku. Sesungguhnya tidak ada yang bisa mengampuni
dosa kecuali Engkau.[13]
Dari ‘Abdullah bin ‘Amr Radhiyallahu anhuma, bahwa Abu Bakar ash-Shiddiq
Radhiyallahu anhu berkata, “Wahai Rasûlullâh, ajari aku do’a yang akan aku
panjatkan dalam shalatku.” Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
”Katakanlah :
اللَّهُمَّ إِنِّي ظَلَمْتُ نَفْسِيْ ظُلْمًا كَثِيْرًا،
وَلَا يَغْفِرُ الذُّنُوْبَ إِلَّا أَنْتَ، فَاغْفِرْ لِيْ مَغْفِرَةً مِنْ
عِنْدِكَ، وَارْحَمْنِيْ إِنَّكَ أَنْتَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ
‘Ya Allâh, sesungguhnya aku telah menganiaya diriku dan tidak ada yang bisa
mengampuni dosa-dosa kecuali Engkau, karenanya, ampunilah dosa-dosaku dengan
ampunan dari-Mu dan berilah rahmat kepadaku. Sesungguhnya Engkau Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang.’”[14]
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda :
وَاللهِ إِنِّيْ لَأَسْتَغْفِرُ اللهَ وَأتُوْبُ
إِلَيْهِ فِيْ الْيَوْمِ أَكْثَرَ مِنْ سَبْعِيْنَ مَرَّةً
Demi Allâh, aku sungguh minta ampunan kepada Allâh dan bertaubat kepada-Nya
dalam satu hari lebih dari tujuh puluh kali.[15]
Dan dalam hadits dari al-Aghar al-Muzani Radhiyallahu anhu , bahwa Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
إِنَّهُ لَيُغَانُ عَلَى قَلْبِيْ وَإِنِّيْ
لَأَسْتَغْفِرُ اللهَ فِيْ الْيَوْمِ مِائَةَ مَرَّةٍ.
Sungguh hatiku ditutup (dari lalai dzikir) dan aku minta ampunan kepada
Allâh dalam sehari sebanyak seratus kali[16]
Kesimpulannya, obat dosa-dosa ialah beristighfâr, diriwayatkan dari Abu
Dzar Radhiyallahu anhu berkata, “Sesungguhnya setiap penyakit mempunyai obat
dan obat dosa ialah istighfâr.”[17]
Barangsiapa dosa-dosa dan kesalahannya banyak hingga tidak terhitung,
hendaklah ia meminta ampunan kepada Allâh yang Maha mengetahui segala sesuatu.
Allâh Azza wa Jalla firman-Nya :
يَوْمَ يَبْعَثُهُمُ اللَّهُ جَمِيعًا فَيُنَبِّئُهُمْ
بِمَا عَمِلُوا ۚ أَحْصَاهُ اللَّهُ وَنَسُوهُ ۚ وَاللَّهُ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ
شَهِيدٌ
Pada hari itu mereka semuanya dibangkitkan oleh Allâh, lalu diberitakan-Nya
kepada mereka apa yang telah mereka kerjakan. Allâh menghitungnya (semua amal
perbuatan itu), meskipun mereka telah melupakannya. Dan Allâh Maha menyaksikan
segala sesuatu.a [al-Mujâdilah/58:6]
Ketiga
: Tauhid Merupakan Faktor Terbesar Penyebab Ampunan
يَا ابْنَ آدَمَ إِنَّكَ لَوْ أَتَيْتَنِيْ بِقُرَابِ
الْأَرْضِ خَطَايَا ، ثُمَّ لَقِيتَنيْ لَا تُشْرِكُ بِيْ شَيْئًا ، لَأَتَيْتُكَ
بِقُرَابهَا مَغْفِرَةً.
Hai anak Adam! Jika engkau datang kepadaku dengan membawa dosa-dosa hampir
sepenuh bumi kemudian engkau bertemu dengan-Ku dalam keadaan tidak
mempersekutukan-Ku dengan sesuatu pun, niscaya Aku datang kepadamu dengan
memberikan ampunan sepenuh bumi.
Tauhid merupakan faktor terbesar penyebab ampunan. Barangsiapa tidak
mempunyai tauhid, ia tidak mendapatkan ampunan. Barangsiapa membawa tauhid,
sungguh ia membawa aspek terbesar penyebab ampunan. Allâh Azza wa Jalla
berfiman :
إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ
وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَٰلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ ۚ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدِ
افْتَرَىٰ إِثْمًا عَظِيمًا
Sesungguhnya Allâh tidak akan mengampuni dosa karena mempersekutukan-Nya
(syirik), dan Dia mengampuni apa (dosa) yang selain dari (syirik) itu bagi
siapa yang Dia kehendaki…” [an-Nisâ’/4:48]
Barangsiapa datang dengan bertauhid dan membawa kesalahan-kesalahan seberat
bumi, ia ditemui Allâh dengan ampunan seberat bumi pula, namun ini sesuai
dengan kehendak Allâh Azza wa Jalla . Jika Dia berkehendak, Dia mengampuninya.
Jika Dia berkehendak, Dia menyiksanya karena dosa-dosanya, namun dia tidak
kekal di neraka dan akhirnya akan dimasukkan surga. Jika tauhid seorang hamba dan
keikhlasan kepada Allâh sempurna, syarat-syaratnya ditunaikan dengan hati,
lisan dan anggota tubuhnya, atau dengan hati dan lisannya ketika hendak
meninggal dunia, maka itu semua menyebabkan dirinya mendapatkan ampunan dari
dosa-dosa silamnya dan menghalanginya masuk neraka.
Jadi, barangsiapa mengisi hatinya dengan tauhid, maka semua yang
bertentangan dengannya akan tersingkir. Ketika itulah, seluruh dosa dan
kesalahan-kesalahannya akan sirna meski sebanyak buih di laut.
Kesalahan-kesalahan itu bisa saja berubah menjadi kebaikan. Karena tauhid
adalah penghancur terbesar dosa-dosa dan kesalahan-kesalahan. Jika salah satu
biji sawi tauhid diletakkan di atas gunung dosa atau kesalahan, pastilah tauhid
mengubah dosa dan kesalahan tersebut menjadi kebaikan. Inilah diantara
keutamaan tauhid.
FAWA-ID HADITS :
1)
Keutamaan Adam q dan
keturunannya. [al-Isrâ’/18: 70]
2)
Barangsiapa berdo’a
kepada Allâh dan berharap kepada-Nya niscaya Allâh akan mengampuninya.
3)
Berdo’a harus
diiringi dengan rasa harap.
4)
Luasnya karunia dan ampunan
Allâh buat para hamba-Nya.
5)
Sekalipun dosa hamba
itu besar dan banyak, maka ampunan Allâh itu lebih besar dan banyak.
6)
Keutamaan istighfâr
dan taubat
7)
Apabila manusia
banyak berbuat dosa kemudian bertemu Allâh dengan tidak menyekutukan-Nya, maka
Allâh akan mengampuninya.
8)
Tauhid yang ikhlas
dan bersih dari syirik sebagai sebab terampunkannya semua dosa.
9)
Keutamaan dan
besarnya ganjaran tauhid.
10)
Bantahan kepada
Khawarij yang mengkafirkan pelaku dosa besar selain syirik.
11)
Menetapkan sifat
kalam (berbicara) bagi Allâh Azza wa Jalla yang sesuai dengan kemuliaan-Nya.
12)
Penjelasan tentang
makna dan konsekuensi “لَا إِلَهَ إِلَّا
اللهُ” yaitu meninggalkan semua bentuk kesyirikan, yang besar dan
kecil, dan tidak cukup hanya mengucapkan dengan lisan saja.
13)
Menetapkan tentang
adanya kiamat, kebangkitan, hisab dan balasan.
14)
Menetapkan bahwa
manusia akan bertemu dengan Allâh pada hari Kiamat.
Maraaji’
1)
Al-Qur’ânul Karîm dan
terjemahnya.
2)
Tafsîrul Qur’ânil
Azhîm, Ibnu Katsiir, tahqiq Saami Salamah.
3)
Taisîrul Karîmir
Rahmân fi Tafsîri Kalâmil Mannân, cet. Maktabah al-Ma’arif.
4)
Shahîh al-Bukhâri.
5)
Shahîh Muslim.
6)
Sunan at-Tirmidzi.
7)
Sunan Abu Dawud.
8)
Sunan an-Nasâ’i.
9)
Sunan Ibnu Mâjah
10)
Musnad Imam Ahmad.
11)
Mustadrak al-Hâkim.
12)
Al-Mu’jamul Kabîr.
13)
At-Ta’lîqâtul Hisân.
14)
Al-Adabul Mufrad.
15)
Shahîh al-Adabil
Mufrad.
16)
Silsilatul Ahâdîts
ash-Shahîhah.
17)
Hidâyatur Ruwât ila
Takhrîji Ahâdîtsil Mashâbîh wal Misykât.
18)
Jâmi’ul ’Ulûm wal
Hikam.
19)
Syarah al-Arba’in
an-Nawawiyyah, Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin.
20)
Qawâ’id wa Fawâ-id
minal Arba’in an-Nawawiyyah.
21)
Al-Fawâ-id
al-Mustanbathah minal Arba’in an-Nawawiyyah, ‘Abdurrahman bin Nâshir al-Barrak.
22)
Madârikun Nazhar fis
Siyâsah, cet. IX th. 1430 H/2009 M, Darul Furqan.
_______
Footnote :
Footnote :
[1].
Diringkas dari
Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam (II/402-418).
[2].
Shahih: HR. Ahmad
(IV/267, 271, 276), Abu Dawud (no. 1479), at-Tirmidzi (no. 3247), Ibnu Mâjah
(no. 3828).
[3].
Hasan: HR.
at-Tirmidzi (no. 3479) dan al-Hâkim (I/493). Lihat Shahîh al-Jâmi’ish Shaghîr
(no. 245) dan Silsilatul Ahâdîtsish Shahîhah (no. 594).
[4].
Shahih: HR. al-Bukhâri
(no. 6339), Muslim (no. 2679), Ahmad (II/243) dari Abu Hurairah Radhiyallahu
anhu.
[5].
Potongan hadits Abu
Hurairah ini diriwayatkan oleh Ibnu Mâjah (no. 910, 3847) dan Ibnu Hibbân (no.
865-at-Ta’lîqâtul Hisân).
[6].
Hasan shahih: HR.
Ahmad (III/18), al-Bukhâri dalam al-Adabul Mufrad (no. 710), al-Hâkim (I/493)
dari Abu Sa’id al-Khudri Radhiyallahu anhu , dishahihkan oleh Syaikh al-Albâni
dalam Shahîh al-Adabil Mufrad (no. 547). Diriwayatkan juga oleh at-Tirmidzi
(no. 3573), dari ‘Ubadah bin Shamit Radhiyallahu anhu. Lihat Shahîhul Jâmi’
(5678).
[7].
HR. Muslim (no.
2679), Ahmad (II/457-458), al-Bukhari dalam al-Adabul Mufrad (no. 607), dan
Ibnu Hibban (no. 893-at-Ta’lîqâtul Hisân).
[8].
Tafsîr al-Qur’anil
‘Azhim, (IV/303), tahqiq Saami Salamah.
[9].
Taisîrul Karîmir
Rahmân fî Tafsîri Kalâmil Mannân (hlm. 385), cet. Maktabah al-Ma’arif.
[10]. Lihat Madârikun
Nazhar fis Siyâsah (hlm. 453), cet. IX th. 1430 H/2009 M, Daarul Furqan.
[11]. Shahih: HR.
al-Bukhâri (no. 7507) dan Muslim (no. 2758).
[12]. Shahih: HR. Ahmad
dalam Musnad-nya (II/165 dan 219) dan al-Bukhâri dalam al-Adabul Mufrad (no.
380). Lihat Silsilatul Ahâdîts ash-Shahîhah (no. 482).
[13]. HR. al-Bukhâri (no.
6306, 6323), Ahmad (IV/122-125), dan an-Nasa-i (VIII/279-280), dari Syaddad bin
Aus Radhiyallahu anhu.
[14]. HR. al-Bukhâri (no.
834, 6326, 7387, 7388) dan Muslim (no. 2705 (48)).
[15]. HR. al-Bukhâri dalam
Fat-hul Baari (no. 6307).
[16]. HR. Muslim (no.
2702(4)).
[17]. HR. Hâkim (IV/242) dari Abu Dzar secara
mauquf. Adz-Dzahabi menshahihkan dan menyetujuinya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar