قَالَ رَبِّ السِّجْنُ
أَحَبُّ إِلَيَّ مِمَّا يَدْعُونَنِي إِلَيْهِ ۖ وَإِلَّا تَصْرِفْ عَنِّي
كَيْدَهُنَّ أَصْبُ إِلَيْهِنَّ وَأَكُنْ مِنَ الْجَاهِلِينَ﴿٣٣﴾فَاسْتَجَابَ لَهُ
رَبُّهُ فَصَرَفَ عَنْهُ كَيْدَهُنَّ ۚ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ
Yusuf berkata: “Wahai
Rabbku, penjara lebih aku sukai daripada memenuhi ajakan mereka kepadaku. Dan
jika tidak Engkau hindarkan diriku dari tipu daya mereka, tentu aku akan
cenderung untuk (memenuhi keinginan mereka) dan tentulah aku termasuk
orang-orang yang bodoh. Maka Rabbnya memperkenankan doa Yusuf, dan Dia
menghindarkan Yusuf dari tipu daya mereka. Sesungguhnya Dia-lah yang Maha
Mendengar lagi Maha Mengetahui. [Yusuf/12:33-34]
PENJELASAN AYAT
• Kilas Balik Fitnah Wanita Yang Mengancam Nabi Yusuf Alaihisallam.
Setelah selamat dari lubang sumur dan berpindah-tangan ke pejabat besar Mesir, kemudian Nabi Yusuf Alaihissallam tinggal dalam kemewahan. Beliau ternyata diperlakukan dengan baik, bukan layaknya budak belian pada umumnya. Tatkala usianya menginjak remaja, ketampanan paras menjadi simbol yang melekat pada beliau. Dalam peristiwa Isra` Mi’râj, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjumpainya di langit tingkat ketiga dan beliau berkomentar: “Sungguh, ia diberi separuh ketampanan (penduduk dunia)”.[1]
• Kilas Balik Fitnah Wanita Yang Mengancam Nabi Yusuf Alaihisallam.
Setelah selamat dari lubang sumur dan berpindah-tangan ke pejabat besar Mesir, kemudian Nabi Yusuf Alaihissallam tinggal dalam kemewahan. Beliau ternyata diperlakukan dengan baik, bukan layaknya budak belian pada umumnya. Tatkala usianya menginjak remaja, ketampanan paras menjadi simbol yang melekat pada beliau. Dalam peristiwa Isra` Mi’râj, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjumpainya di langit tingkat ketiga dan beliau berkomentar: “Sungguh, ia diberi separuh ketampanan (penduduk dunia)”.[1]
Ketampanan Nabi Yusuf
Alaihissallam ini telah membuat istri majikannya terpikat, dan ia pun membuat
rencana untuk memperdaya dan menjerumuskan Nabi Yusuf Alaihissallam ke dalam
perbuatan fâhisyah (perzinaan). Namun, Allah Subhanahu wa Ta’alamelindungi
beliau dari perbuatan maksiat tersebut.
Berita tergodanya istri
pembesar Mesir dengan budaknya menyebar sampai ke telinga-telinga kaum Hawa
pada masa itu. Awalnya, mereka mencela istri pembesar Mesir atas kejadian
tersebut. Akan tetapi, wanita istri pembesar Mesir tidak kurang akal. Ia
menempuh sebuah cara supaya wanita-wanita itu membenarkan dirinya sehingga
sampai terpikat dengan seorang remaja bernama Yusuf Alaihissallam .
Maka didatangkanlah
wanita-wanita itu supaya menyaksikan sendiri ketampanan Nabi Yusuf
Alaihissallam . Ternyata benar, mereka benar-benar tersihir oleh keelokannya.
Bahkan mereka menganggapnya sebagai malaikat, lantaran sedemikian tampan paras
beliau.
Keterpukauan dan
kekaguman ini sampai mengakibatkan mereka tidak menyadari telah mengiris
tangan-tangan mereka sendiri dengan pisau-pisau yang sengaja telah disediakan
oleh istri pembesar Mesir, untuk membalas tipu daya wanita-wanita tersebut,
yang sebenarnya juga memendam hasrat besar untuk menyaksikan keelokan wajah
Nabi Yusuf Alaihissallam dengan mata kepala mereka sendiri. Bukan murni untuk
mencela istri sang pembesar Mesir itu.
Selanjutnya, istri
pembesar Mesir memberitahukan kepada para wanita yang hadir, mengenai
kepribadian bagus yang tertanam pada diri Nabi Yusuf Alaihissallam . Yaitu,
sifat ‘iffah (ketangguhan untuk menjaga kehormatan diri), tidak sudi menyambut
ajakan berbuat tidak senonoh. Karena penolakan itu, muncullah ancaman dari
mulut wanita istri pembesar Mesir itu. Yakni dijeblosankannya Nabi Yusuf
Alaihissallam ke dalam penjara dan hidup dalam keadaan terhina.
• Nabi Yusuf
Alaihissallam Memohon Perlindungan kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Saat itulah Nabi Yusuf Alaihissallam berlindung diri dengan Rabbnya, dan beliau memohon pertolongan kepada-Nya dari keburukan dan tipu-daya.
Saat itulah Nabi Yusuf Alaihissallam berlindung diri dengan Rabbnya, dan beliau memohon pertolongan kepada-Nya dari keburukan dan tipu-daya.
قَالَ رَبِّ السِّجْنُ
أَحَبُّ إِلَيَّ مِمَّا يَدْعُونَنِي إِلَيْهِ
(Wahai Rabbku, penjara
lebih aku sukai daripada memenuhi ajakan mereka kepadaku).
Ini menunjukkan bahwa
para wanita itu menyarankan Nabi Yusuf Alaihissallam supaya patuh terhadap tuan
putrinya, dan mengupayakan untuk memperdaya Yusuf Alaihissallam dalam masalah
ini. Akan tetapi, Nabi Yusuf Alaihissallam lebih menyukai terkurung dalam
penjara dan siksaan duniawi ketimbang kenikmatan sesaat yang akan mendatangkan
siksaan pedih.[2]
Sekaligus, ayat di atas
juga mencerminkan bahwasanya istri pejabat masih saja mendesak Nabi Yusuf
Alaihissallam untuk mau menerima ajakannya, dan mengancamnya dengan penjara dan
kurungan, bila menolak ajakan itu. Pasalnya, seandainya wanita itu tidak
menekan dan melancarkan ancaman, maka mustahil membuat Nabi Yusuf Alaihissallam
sampai mengatakan “Wahai Rabbku, penjara lebih aku sukai daripada memenuhi ajakan
mereka kepadaku”.[3]
Walaupun banyak kondisi
yang sangat mendukung terjadinya perbuatan zina yang nanti akan dikemukakan
satu-persatu, tetapi Nabi Yusuf Alaihissallam lebih mengutamakan ridha dan rasa
takut kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Begitu juga kecintaan kepada-Nya, telah
mendorongnya untuk memilih hari-harinya hidup di bui daripada berbuat zina. [4]
وَإِلَّا تَصْرِفْ عَنِّي
كَيْدَهُنَّ أَصْبُ إِلَيْهِنَّ
[Dan jika tidak Engkau
hindarkan diriku dari tipu daya mereka, tentu aku akan cenderung untuk
(memenuhi keinginan mereka)]
Jika Engkau (wahai
Rabbku) menyerahkan pengendalian urusan ini kepada diriku sendiri, sesungguhnya
aku lemah, tiada daya, tidak mempunyai kekuatan, tidak sanggup mendatangkan
bahaya dan kemanfaatan kecuali dengan bantuan dan kekuatan-Mu. Engkaulah tempat
memohon pertolongan, kepada-Mulah tempat sandaran, jangan Engkau serahkan pada
diriku sendiri [5]
وَأَكُنْ مِنَ
الْجَاهِلِينَ
(dan tentulah aku
termasuk orang-orang yang bodoh).
Imam ath-Thabari
rahimahullah mengatakan: “Dengan kecondonganku kepada mereka, aku akan menjadi
orang-orang yang tidak mengetahui hak-Mu dan menentang perintah dan
larangan-Mu”[6]
Penyambutan terhadap
ajakan itu, menyebabkan seseorang terjerumus dalam dosa dan berhak menyandang
celaan atau telah bertindak dengan perbuatan orang-orang yang tolol. Karena
berarti lebih mengutamakan kenikmatan sesaat, dan akan sangat menyengsarakannya
di akhirat kelak daripada kenikmatan abadi dan kesenangan yang beraneka macam
di Jannatun-Na’im. Orang yang memilih ini daripada itu, apakah ada orang yang
lebih bodoh darinya?[7] Dan berdasarkan ijma’ para ulama, orang yang dipaksa
berzina dengan ancaman penjara, tetap saja tidak boleh untuk melakukannya.[8]
Ibnul-Qayyim
rahimahullah berkata: “Ia mengetahui kalau dirinya tidak mampu menghindarkan
diri dari ajakan itu. Seandainya Rabbnya tidak menjaga dan menyelamatkannya
dari makar para wanita itu, atas dasar nalurinya akan condong kepada mereka dan
termasuk dalam golongan orang-orang yang bodoh. Ini merupakan indikasi kesempurnaan
ma’rifat beliau kepada Alllah dan dirinya (yang lemah)”.[9]
Dengan ini, Nabi Yusuf
Alaihissallam berarti telah mencapai kedudukan yang sempurna. Faktor-faktor
yang mendukung terjadinya perzinaan, seperti usianya yang remaja dan anugerah
ketampanan dan kesempurnaan pribadi, digoda oleh majikan wanita, seorang istri
pejabat Mesir yang juga berwajah elok, kaya dan berkedudukan, namun keadaan
seperti itu tidak menggoyahkan keteguhan hati Nabi Yusuf Alaihissallam . Beliau
lebih memilih hidup terhina dalam jeruji penjara daripada melakukan perbuatan
buruk, karena belaiu takut kepada Allah Subhanahu wa Ta’aladan berharap pahala
dari-Nya.[10]
Syaikh as-Sa’di
rahimahullah menyebutkan rahasia Nabi Yusuf Alaihissallam dapat selamat dari
keadaan genting tersebut. Yakni, (setelah taufiq dari Allah Subhanahu wa
Ta’ala), juga karena ilmu dan akal pikiran sehat yang mengajaknya untuk lebih
mengutamakan kemaslahatan dan kenikmatan yang terbesar, serta lebih
mengedepankan perkara yang kesudahannya terpuji.[11]
Artinya, ketika aspek
jahâlah (kebodohan) membelenggu manusia, baik masih dalam taraf yang ringan
ataupun sudah pekat. Hawa nafsu manusia selalu berbisik kepada obyek yang
buruk-buruk, yang tidak bermanfaat lagi membahayakannya di hari esok. Demikian
ini, lantaran sisi jahâlah (kebodohan) yang menguasai jiwa tersebut. Oleh
karena itu, siapa saja yang mencermati Al-Qur`anul-Karim, maka akan berhenti
pada kesimpulan bahwa faktor kebodohanlah yang menjadi pemicu terjadinya
dosa-dosa dan maksiat. Tidak mengherankan bila Nabi Yusuf Alaihissallam ,
seperti yang diceritakan oleh Allah Subhanahu wa Ta’alapada ayat di atas, akan
menilai dirinya sebagai manusia bodoh jika menyambut ajakan wanita istri
penguasa Mesir, majikannya. Nabi Yusuf Alaihissallam berkata: “Dan jika tidak Engkau
hindarkan diriku dari tipu daya mereka, tentu aku akan cenderung untuk
(memenuhi keinginan mereka) dan tentulah aku termasuk orang-orang yang bodoh”.
Imam al-Baghawi
rahimahullah berkata: “Pada ayat ini terdapat dalil, bahwa seorang mukmin yang
berbuat dosa, ia melakukannya karena dorongan unsur jahâlah (kebodohan pada
dirinya, Red.)”[12]. Begitu juga Syaikh Abu Bakar al-Jazâiri hafizhahullah
mengatakan, al-jahlu (ketidaktahuan/tidak mengenal) Allah, nama-nama dan
sifat-sifat-Nya, janji baik dan ancaman, serta tidak mengenal syariatnya
merupakan penyebab terjadinya setiap kejahatan di dunia.[13] Banyak ayat yang
menjelaskan pengertian yang sama (al-jahlu) dengan ayat di atas.
Di antaranya Allah
Subhanahu wa Ta’ala berfirman saat menceritakan kaum Nabi Musa Alaihissallam.
قَالُوا يَا مُوسَى
اجْعَلْ لَنَا إِلَٰهًا كَمَا لَهُمْ آلِهَةٌ ۚ قَالَ إِنَّكُمْ قَوْمٌ
تَجْهَلُونَ
Bani Israil berkata:
“Hai Musa, buatlah untuk kami sebuah ilah (berhala) sebagaimana mereka
mempunyai beberapa ilah (berhala)”. Musa menjawab : “Sesungguhnya kamu ini
adalah kaum yang tidak mengetahui (sifat-sifat Ilah)”. [al-A’râf/7:138]
Firman Allah Subhanahu
wa Ta’ala.
وَلُوطًا إِذْ قَالَ
لِقَوْمِهِ أَتَأْتُونَ الْفَاحِشَةَ وَأَنْتُمْ تُبْصِرُونَ﴿٥٤﴾أَئِنَّكُمْ
لَتَأْتُونَ الرِّجَالَ شَهْوَةً مِنْ دُونِ النِّسَاءِ ۚ بَلْ أَنْتُمْ قَوْمٌ
تَجْهَلُونَ
Dan (ingatlah kisah)
Luth, ketika dia berkata kepada kaumnya: “Mengapa kamu mengerjakan perbuatan
fahisyah itu sedang kamu melihat(nya)?” Mengapa kamu mendatangi laki-laki untuk
(memenuhi) nafsu(mu), bukan (mendatangi) wanita? Sebenarnya kamu adalah kaum
yang tidak mengetahui (akibat perbuatanmu)”. [an-Naml/27: 54-55]
Firman Allah Subhanahu
wa Ta’ala.
قُلْ أَفَغَيْرَ اللَّهِ
تَأْمُرُونِّي أَعْبُدُ أَيُّهَا الْجَاهِلُونَ
Katakanlah:”Maka apakah
kamu menyuruh aku menyembah selain Allah, hai orang-orang yang tidak
berpengetahuan?” [az-Zumâr/39:64].
Oleh sebab itu, siapa
saja yang bermaksiat kepada Allah dan melakukan perbuatan dosa, maka orang itu
adalah jâhil (bodoh), sebagaimana telah menjadi kenyataan yang dimaklumi oleh
generasi Salafush-Shalih.
Allah Subhanahu wa
Ta’ala berfirman :
إِنَّمَا التَّوْبَةُ
عَلَى اللَّهِ لِلَّذِينَ يَعْمَلُونَ السُّوءَ بِجَهَالَةٍ ثُمَّ يَتُوبُونَ مِنْ
قَرِيبٍ فَأُولَٰئِكَ يَتُوبُ اللَّهُ عَلَيْهِمْ
Sesungguhnya taubat di
sisi Allah hanyalah taubat bagi orang-orang yang mengerjakan kejahatan lantaran
kejahilan, yang kemudian mereka bertaubat dengan segera, maka mereka itulah
yang diterima Allah taubatnya… [an-Nisâ`/4:17].
Makna bi jahâlah adalah
kebodohan (ketidaktahuan) pelakunya terhadap akibat buruk dari perbuatannya,
yang dapat mendatangkan kemurkaan dan siksa Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sehingga
setiap orang yang bermaksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka ia bodoh
ditinjau dari segi ini. Kendatipun ia mengetahui (memiliki ilmu) kalau
perbuatan itu memang diharamkan; kebodohannya terhadap pengawasan Allah
Subhanahu wa Ta’ala, kebodohannya terhadap dampak maksiat yang bisa mengurangi
keimanan atau menghapuskannya.
Qatadah rahimahullah
berkata,”Para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah
berkumpul, dan mereka memandang setiap perkara yang dengannya Allah didurhakai,
berarti itu bentuk jahâlah (kebodohan), baik dikerjakan dengan sengaja maupun
tidak.”
As-Suddi rahimahullah
berkata: “Selama seseorang masih bermaksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala,
berarti ia masih bodoh”.[14]
• Allah Subhanahu Wa
Ta’ala Mengabulkan Permohonan Nabi Yusuf Alaihissallam .
فَاسْتَجَابَ لَهُ
رَبُّهُ
(Maka Rabbnya
memperkenankan doa Yusuf ) saat memanjatkan doa kepada-Nya.
فَصَرَفَ عَنْهُ
كَيْدَهُنَّ
(dan Dia menghindarkan
Yusuf dari tipu daya mereka): wanita itu masih saja bernafsu menggoda Nabi
Yusuf Alaihissallam , dan ia menempuh segala cara yang mampu ia lakukan, tetapi
Nabi Yusuf Alaihissallam bergeming, dan membuatnya patah arang, dan Allah pun
memalingkan tipu-daya mereka dari Nabi Yusuf Alaihissallam.
إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ
الْعَلِيمُ
(Sesungguhnya Dia-lah
yang Maha Mendengar): doa Nabi Yusuf Alaihissallam saat ia berdoa supaya Allah
menghindarkannya dari tipu daya kaum wanita, dan doa setiap makhluk-Nya (lagi
Maha Mengetahui), keinginan dan kebutuhan Nabi Yusuf Alaihissallam dan setiap
hal yang dapat memperbaiki kondisinya serta mengetahui kebutuhan seluruh
makhluk, dan hal-hal yang dapat memperbaiki keadaan mereka[15]. Ini merupakan
wujud pertolongan Allah Subhanahu wa Ta’alakepada Nabi Yusuf Alaihissallam dari
fitnah yang menghimpit dan berat ini.[16]
Mengapa disebutkan bahwa
Allah Subhanahu wa Ta’alamemperkenankan doa Nabi Yusuf Alaihissallam , padahal
tidak ada doa yang muncul dari bibirnya, dan Nabi Yusuf Alaihissallam hanya
memberitahukan jika penjara lebih disukainya daripada bermaksiat kepada Allah
Subhanahu wa Ta’ala?
Jawabnya, lantaran
dengan itulah Nabi Yusuf Alaihissallam menyampaikan pengaduan kepada Allah
Subhanahu wa Ta’aladan [Dan jika tidak Engkau hindarkan diriku dari tipu daya
mereka, tentu aku akan cenderung untuk (memenuhi keinginan mereka)] mengandung
makna permohonan doa Nabi Yusuf Alaihissallam kepada Allah Subhanahu wa
Ta’alauntuk menghindarkan dari makar para penggoda. Oleh karena itu, lantas
Allah Subhanahu wa Ta’alamengabulkan doanya.[17]
Dalam konteks ini, sudah
tentu Nabi Yusuf Alaihissallam masuk dalam kandungan hadits tujuh golongan yang
meraih naungan Allah Subhanahu wa Ta’alapada hari tiada naungan kecuali
naungan-Nya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمْ
اللَّهُ فِي ظِلِّهِ يَوْمَ لَا ظِلَّ إِلَّا ظِلُّهُ (وفيه) وَرَجُلٌ طَلَبَتْهُ
امْرَأَةٌ ذَاتُ مَنْصِبٍ وَجَمَالٍ فَقَالَ إِنِّي أَخَافُ اللَّهَ
Ada tujuh golongan,
Allah akan menaungi mereka dengan naungan-Nya pada hari tiada naungan kecuali
naungan dari-Nya. (Salah satunya disebutkan): Seorang lelaki yang diajak
seorang wanita yang memiliki kedudukan dan paras elok (untuk berbuat zina),
akan tetapi ia mengatakan: “Saya takut kepada Allah”. [HR al-Bukhari dan
Muslim].
WANITA, FITNAH PALING
BERBAHAYA BAGI LELAKI
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengabarkan kepada kaum lelaki, bahwa fitnah wanita merupakan fitnah terberat yang dirasakan seorang lelaki. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengabarkan kepada kaum lelaki, bahwa fitnah wanita merupakan fitnah terberat yang dirasakan seorang lelaki. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَا تَرَكْتُ بَعْدِي
فِتْنَةً هِيَ أَضَرُّ عَلَى الرِّجَالِ مِنْ النِّسَاءِ
Tidaklah aku tinggalkan
sepeninggalkan sebuah fitnah yang lebih berbahaya bagi kaum lelaki melebihi
fitnah wanita. [HR al-Bukhari dan Muslim].
Bahkan sejumlah ulama
menyimpulkan, bahwasanya makar dan tipu daya wanita lebih berbahaya dari pada
tipu daya setan. Yaitu dengan membandingkan penjelasan Allah Subhanahu wa
Ta’alatentang tipu daya setan dengan tipu daya wanita dalam surat ini.
Firman Allah Subhanahu
wa Ta’alatentang tipu daya setan, (karena sesungguhnya tipu daya setan itu
adalah lemah) -an-Nisâ`/4 ayat 76- sedangkan mengenai tipu-daya wanita, Allah
Subhanahu wa Ta’alaberfirman (Sesungguhnya tipu daya mereka itu sangat besar)
-Yusuf/12 ayat 28. Komparasi ini menunjukkan bahwa tipu daya wanita lebih
berbahaya daripada tipu daya setan.[18]
ALANGKAH DAHSYAT FITNAH
YANG MENIMPA NABI YUSUF ALAIHISSALLAM[19]
Allah Subhanahu wa Ta’alatelah menyampaikan betapa besarnya fitnah perzinaan yang menghadang Nabi Yusuf Alaihissallam . Banyak faktor yang dapat menjerumuskan Nabi Yusuf Alaihissallam ke dalam lembah kenistaan, yang tidak pernah dijumpai oleh siapapun.
Allah Subhanahu wa Ta’alatelah menyampaikan betapa besarnya fitnah perzinaan yang menghadang Nabi Yusuf Alaihissallam . Banyak faktor yang dapat menjerumuskan Nabi Yusuf Alaihissallam ke dalam lembah kenistaan, yang tidak pernah dijumpai oleh siapapun.
Penjelasannya sebagai
berikut.
1. Naluri Nabi Yusuf Alaihissallam sebagai lelaki, beliau memiliki hasrat terhadap perempuan.
1. Naluri Nabi Yusuf Alaihissallam sebagai lelaki, beliau memiliki hasrat terhadap perempuan.
2. Status sebagai
pemuda, yang umumnya memiliki rangsangan nafsu syahwat yang kuat. Terlebih lagi
statusnya juga masih lajang, tanpa ataupun budak perempuan yang dapat dijadikan
untuk menyalurkan hasrat kelelakiannya, sekaligus tak ada anggota keluarga yang
membebaninya.
3. Ketampanan yang
dimiliki Nabi Yusuf Alaihissallam menjadi sumber daya pikat yang sangat
berpengaruh, sehingga menyebabkan wanita tertarik kepadanya.
4. Keberadaannya sebagai
orang asing, jauh dari keluarga dan kampung halaman. Kebiasaan orang yang
bermukim di lingkungan sendiri akan merasa malu berbuat tidak senonoh. Khawatir
bila perbuatan nistanya terbongkar, yang pada gilirannya kehormatannya pun bisa
terpuruk di mata masyarakatnya. Akan tetapi, meski di tempat asing, Nabi Yusuf
Alaihissallam tidak ternoda godaan.
5. Statusnya yang
seperti mamlûk (budak belian). Seorang budak, ia sering keluar-masuk ke tempat
majikan. Dia pun tidak terlalu memikirkan hal-hal yang dihindari oleh seseorang
yang merdeka.
6. Si wanita penggoda
memiliki status sosial tinggi, sekaligus rupawan.
7. Yang memulai menggoda
adalah wanita itu, bukan Nabi Yusuf Alaihissallam . Sehingga hilanglah beban
seorang lelaki untuk melancarkan jurus-jurus cinta untuk bisa merayu seorang
wanita. Hilang pula perasaan takut ditolak wanita itu. Belum lagi agresivitas
wanita tersebut dalam mendekati Yusuf Alaihissallam , yang berarti tindakannya
itu bukan ditujukan untuk menguji ketahanan dan kesucian Nabi Yusuf
Alaihissallam , tetapi benar-benar mengajaknya berbuat nista. Akan tetapi, Nabi
Yusuf Alaihissallam bisa menjaga diri sehingga terhindar dari perbuatan yang
menjijikkan.
8. Tempat kejadian
berada di dalam rumah yang berada dalam kekuasaan pemilik, yaitu wanita
penggoda tersebut. Sehingga ia leluasa dan mengetahui waktu-waktu yang sepi,
hingga memungkinkannya melakukan perzinaan tanpa diketahui orang lain. Wanita
itu pun melakukan ancaman bila hasratnya tidak dipenuhi, Tetapi Nabi Yusuf
Alaihissallam menghindar dan menolaknya.
9. Begitu pula wanita
pemilik rumah telah mengunci pintu-pintu dengan rapat, untuk mengantipasi
masuknya seseorang secara mendadak. Keadaan rumah benar-benar kosong kecuali
Nabi Yusuf Alaihissallam dan wanita itu. Tetapi Nabi Yusuf Alaihissallam
bergeming untuk tidak melakukannya.
10. Ketika gagal merayu
Nabi Yusuf Alaihissallam , maka wanita istri pembesar itu mengundang kaum
wanita lainnya, sehingga timbul opini untuk memojokkan Nabi Yusuf
Alaihissallam.
11. Adapun suami wanita
pembesar itu tidak terlalu memperlihatkan kecemburuan, sehingga memisahkan
keduanya. Terhadap perbuatan nista istrinya, sang pembesar hanya meminta agar
Nabi Yusuf Alaihissallam melupakan kejadian tersebut, dan menuntut istrinya
untuk bertaubat. Padahal, kecemburuan seorang suami dapat menjadi penangkal
yang tepat dalam kasus semacam ini, supaya tidak terulang di kemudian hari.
Walaupun sangat
mencekam, Nabi Yusuf Alaihissallam tidak sudi menyambut ajakan wanita itu. Dia
lebih mengutamakan hak Allah Subhanahu wa Ta’aladaripada hak majikan wanitanya.
Allah Subhanahu wa Ta’alatelah menjaga kehormatannya. Mengapa Nabi Yusuf
Alaihissallam dikatakan berhasil menjaga kehormatannya, padahal Al-Qur`ân
menyatakan kalau Nabi Yusuf pun memiliki keinginan.
Firman Allah Subhanahu
wa Ta’ala menyebutkan:
وَلَقَدْ هَمَّتْ بِهِ ۖ
وَهَمَّ بِهَا لَوْلَا أَنْ رَأَىٰ بُرْهَانَ رَبِّهِ
Sesungguhnya wanita itu
telah bermaksud (melakukan perbuatan itu) dengan Yusuf, dan Yusuf pun bermaksud
(melakukan pula) dengan wanita itu andaikata dia tidak melihat tanda (dari)
Rabbnya. [Yusuf/12:24]
Jawabnya [20], al hamm
(keinginan) yang muncul dari beliau hanya sekedar khatharât (bisikan hati
semata), yang kemudian ia singkirkan karena Allah Subhanahu wa Ta’ala. Maka
Allah Subhanahu wa Ta’alamembalasnya dengan kebaikan. Sedangkan hasrat yang
berkecamuk pada wanita itu adalah hamm ishrâr (hasrat yang terus-menerus). Dia
mengerahkan segala upaya untuk mewujudkannya. Akan tetapi gagal. Jadi, dua
keinginan yang ada pada Nabi Yusuf Alaihissallam dengan wanita itu berbeda.
Imam Ahmad rahimahullah
berkata: “Keinginan itu ada dua macam, hamm khatharât dan ishrâr.
Hammul-khatharât tidak diperhitungkan sebagai dosa, dan hammul-ishrâr
diperhitungkan sebagai dosa “.
Ringkasnya, Allah
Subhanahu wa Ta’alatelah memberikan perlindungan kepada Nabi Yusuf
Alaihissallam dengan berbagai faktor pendukung, sehingga beliau terhindar dari
perbuatan nista tersebut. Faktor-faktor itu meliputi: ketakwaan kepada Allah,
memperhatikan hak majikan yang telah memuliakannya, memelihara diri dari
tindakan aniaya yang tidak akan membuat pelakunya selamat. Begitu juga, Allah
Subhanahu wa Ta’alamemberikan anugerah berupa keteguhan iman, sehingga menghasilkan
ketaatan untuk mengerjakan perintah-perintah dan menghindari
larangan-larangan-Nya.
Substansi dari
perlindungan itu, Allah Subhanahu wa Ta’alatelah memalingkan Nabi Yusuf
Alaihissallam dari keburukan dan perbuatan keji, karena ia tergolong hamba-Nya
yang ikhlas kepada-Nya dalam beribadah. Allah juga telah mengikhlaskan hati,
memilih dan mengistimewakannya bagi diri-Nya, mencurahkan kepadanya berbagai
kenikmatan, dan menyelamatkannya dari berbagai keburukan. Dengan pemeliharaan
Allah itu, ia pun menjadi insan pilihan-Nya.
كَذَٰلِكَ لِنَصْرِفَ
عَنْهُ السُّوءَ وَالْفَحْشَاءَ ۚ إِنَّهُ مِنْ عِبَادِنَا الْمُخْلَصِينَ
Demikianlah, agar Kami
memalingkan daripadanya kemungkaran dan kekejian. Sesungguhnya Yusuf itu
termasuk hamba-hamba kami yang terpilih. [Yusuf/12:24].
Syaikhul-Islam
rahimahullah berkata: “Seandainya Nabi Yusuf Alaihissallam telah berbuat dosa,
niscaya akan bertaubat. Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’alatidak menyebutkan
kejadian dosa pada nabi kecuali disertai dengan taubat. Sedangkan (di sini),
Allah Subhanahu wa Ta’alatidak menyebut masalah taubat. Sehingga dalam kasus
yang dialaminya itu dapat diketahui, beliau q sama sekali tidak berbuat dosa.
Wallahu a’lam”. [21]
PELAJARAN AYAT
1. Nabi Yusuf Alaihissallam lebih memilih menghuni penjara daripada berbuat maksiat. Demikianlah seharusnya seorang hamba, bila di hadapkan pada dua pilihan ujian: berbuat maksiat atau hukuman duniawi, maka ia memilih sanksi duniawi ketimbang melakukan perbuatan dosa yang mendatangkan hukuman berat di dunia dan akhirat. Karena itulah, termasuk dari tanda keimanan, yaitu seorang hamba benci kembali kepada kekufuran setelah diselamatkan Allah Subhanahu wa Ta’aladarinya, sebagaimana ia benci dicampakkan ke nyala api.
1. Nabi Yusuf Alaihissallam lebih memilih menghuni penjara daripada berbuat maksiat. Demikianlah seharusnya seorang hamba, bila di hadapkan pada dua pilihan ujian: berbuat maksiat atau hukuman duniawi, maka ia memilih sanksi duniawi ketimbang melakukan perbuatan dosa yang mendatangkan hukuman berat di dunia dan akhirat. Karena itulah, termasuk dari tanda keimanan, yaitu seorang hamba benci kembali kepada kekufuran setelah diselamatkan Allah Subhanahu wa Ta’aladarinya, sebagaimana ia benci dicampakkan ke nyala api.
2. Nabi Yusuf
Alaihissallam memilih masuk penjara daripada melakukan kemaksiatan meskipun
dibawah ancaman. Sikap ini termasuk dalam kategori tanda kebenaran iman.
3. Nabi Yusuf
Alaihissallam memilih bahaya yang lebih ringan. Ini merupakan kaidah syar’iyyah
yang telah dipakai oleh ulama-ulama terdahulu, untuk menghindari bahaya yang
lebih berat.
4. Menghuni penjara
tidak selalu menjadi petunjuk bahwa orang itu berkelakukan buruk. Sebab,
seperti dicontohkan, Nabi Yusuf Alaihissallam adalah kekasih Allah Subhanahu wa
Ta’ala. Bahkan masuk penjara bisa menjadi tonggak awal bagi masa depan yang
lebih baik.
5. Jika seorang hamba
menyaksikan sebuah tempat yang mengandung fitnah dan faktor-faktor penggoda
untuk berbuat maksiat, semestinya ia bergegas pergi dan menjau darinya.
6. Mewaspadai bahaya
khalwat, Yaitu berduaan dengan wanita (laki-laki) asing, yang dikhawatirkan
menimbulkan fitnah. Juga, harus mewaspadai getaran cinta yang ditakutkan
memantik bahaya.
7. Hasrat yang muncul
pada Nabi Yusuf Alaihissallam terhadap wanita tersebut, yang kemudian ia
singkirkan karena Allah, menjadi salah satu tangga yang mengangkatnya kepada
Allah menuju kedudukan yang dekat dengan-Nya.
8. Seorang hamba,
seharusnya selalu mencari perlindungan kepada Allah dan bernaung di bawah
pemeliharaan-Nya ketika berhadapan dengan pemicu-pemicu maksiat, kemudian
berlepas diri sikap percaya diri yang ada pada daya dan kekuatan pribadinya.
9. Seseorang tidak
terpelihara dari maksiat kecuali karena pertolongan dari Allah Azza wa Jalla .
10. Allah tidak akan
menyia-nyiakan keteguhan iman, keseriusan hati, dan usaha seorang hamba yang
muhsin.
11. Seseorang yang sudah
tercelup keimanan pada hatinya, ia adalah seorang yang ikhlas karena Allah pada
semua perbuatannya. Allah Subhanahu wa Ta’alaakan menyingkirkan berbagai
kejelekan, perbuatan keji dan maksiat (dari dirinya) dengan kekuatan iman dan
keikhlasannya, sebagai balasan bagi keimanan dan keikhlasannya. Allah Subhanahu
wa Ta’alatelah berfirman, yang artinya: Demikianlah agar Kami memalingkan
daripadanya kemungkaran dan kekejian. Sesungguhnya Yusuf itu termasuk
hamba-hamba Kami yang terpilih.
12. Kisah ini
menunjukkan keindahan batin Nabi Yusuf Alaihissallam , yaitu sifat iffah
(penjagaan kehormatan diri) yang besar dari godaan maksiat.
13. Sesungguhnya ilmu
yang benar dan akal yang sehat akan membimbing pemiliknya kepada kebaikan dan
menahannya dari kejelekan. Sebaliknya, kebodohan akan menjerumuskan seseorang
selalu memperturutkan bisikan hawa nafsunya, walaupun merupakan maksiat yang
berbahaya bagi pelakunya.
14. Kisah dalam ayat ini
memperlihatkan tentang buruknya kebodohan, dan celaan bagi orang bodoh (jahil).
Maraji`:
1. Al-Qur`ân dan Terjemahannya, Cet. Mujamma’ Malik Fahd, Madinah.
2. Ad-Dâ` wad-Dawâ`, Imam Ibnul-Qayyim, KSA, Cet. III, Th. 1419 H – 1999 M.
3. Adhwâul-Bayâni fi Idhâhil-Qur`âni bil-Qur`ân, Syaikh Muhammad al-Amîn asy-Syinqithi, Maktabah Ibni Taimiyyah, Kairo, Mesir, 1415 H – 1995 M.
4. Ahkâmul-Qur`ân, Abu Bakr Muhammad bin ‘Abdullah (Ibnul-‘Arabi), Tahqiq: ‘Abdur-Razzâq al- Mahdi, Dârul-Kitâbil ‘Arabi, Cet I, Th. 1421 H – 2000 M.
5. Aisarut-Tafâsîr, Abu Bakar Jâbir al-Jazâiri, Maktabah ‘Ulum wal-Hikam, Madinah.
6. Al-Jâmi li Ahkâmîl-Qur`ân (Tafsir al-Qurthubi), Abu ‘Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Anshâri al-Qurthubi, Tahqiq: ‘Abdur-Razzâq al-Mahdi, Dârul-Kitâbil-‘Arabi, Cet. IV, Th. 1422H – 2001M.
7. Asbâbu Ziyâdatil-Imân wa Nuqshâni, Prof. Dr. ‘Abdur-Razzâq bin Abdul-Muhsin al-‘Abbâd, Penerbit Ghirâs, Cet. III, Th. 1424 H – 2003 M.
8. Ithâful Ilf bi Dzikril-Fawâidil-Alfi wan-Naif min Sûrati Yûsuf q , Muhammad bin Mûsa Alu Nashr dan Salîm bin ‘Id al-Hilâli, Maktabah ar-Rusyd, Cet. I, Th. 1424 H – 2003 M.
9. Jami’ul-Bayân ‘an Ta`wîl Ay Al-Qur`ân, Abu Ja’far Muhammad bin Jarîr ath-Thabari, Dar Ibnu Hazm, Cet. I, Th. 1423 H – 2002 M.
10. Ma’âlimut-Tanzîl, Imam Abu Muhammad al-Husain bin Mas’ûd al-Baghawi, Tahqîq dan Takhrîj: Muhammad ‘Abdullah an-Namr, ‘Utsmân Jum’ah Dhumairiyyah, dan Sulaimân Muslim al-Kharsy Dâr Thaibah, Th. 1411 H.
11. Tafsîrul-Qur`ânil-‘Azhîm, al-Hafizh Abul-Fida Isma’îl bin ‘Umar bin Katsîr al-Qurasyi, Tahqîq: Sâmi bin Muhammad as-Salâmah, Dar Thaibah, Riyâdh, Cet. I, Th. 1422 H – 2002 M.
12. Taisîrul-Karîmir-Rahmân, ‘Allâmah Syaikh Abdur-Rahmân bin Nâshir as-Sa’di, Dârul-Mughni, Riyadh, Cet. I, Th. 1419 H – 1999 M.
1. Al-Qur`ân dan Terjemahannya, Cet. Mujamma’ Malik Fahd, Madinah.
2. Ad-Dâ` wad-Dawâ`, Imam Ibnul-Qayyim, KSA, Cet. III, Th. 1419 H – 1999 M.
3. Adhwâul-Bayâni fi Idhâhil-Qur`âni bil-Qur`ân, Syaikh Muhammad al-Amîn asy-Syinqithi, Maktabah Ibni Taimiyyah, Kairo, Mesir, 1415 H – 1995 M.
4. Ahkâmul-Qur`ân, Abu Bakr Muhammad bin ‘Abdullah (Ibnul-‘Arabi), Tahqiq: ‘Abdur-Razzâq al- Mahdi, Dârul-Kitâbil ‘Arabi, Cet I, Th. 1421 H – 2000 M.
5. Aisarut-Tafâsîr, Abu Bakar Jâbir al-Jazâiri, Maktabah ‘Ulum wal-Hikam, Madinah.
6. Al-Jâmi li Ahkâmîl-Qur`ân (Tafsir al-Qurthubi), Abu ‘Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Anshâri al-Qurthubi, Tahqiq: ‘Abdur-Razzâq al-Mahdi, Dârul-Kitâbil-‘Arabi, Cet. IV, Th. 1422H – 2001M.
7. Asbâbu Ziyâdatil-Imân wa Nuqshâni, Prof. Dr. ‘Abdur-Razzâq bin Abdul-Muhsin al-‘Abbâd, Penerbit Ghirâs, Cet. III, Th. 1424 H – 2003 M.
8. Ithâful Ilf bi Dzikril-Fawâidil-Alfi wan-Naif min Sûrati Yûsuf q , Muhammad bin Mûsa Alu Nashr dan Salîm bin ‘Id al-Hilâli, Maktabah ar-Rusyd, Cet. I, Th. 1424 H – 2003 M.
9. Jami’ul-Bayân ‘an Ta`wîl Ay Al-Qur`ân, Abu Ja’far Muhammad bin Jarîr ath-Thabari, Dar Ibnu Hazm, Cet. I, Th. 1423 H – 2002 M.
10. Ma’âlimut-Tanzîl, Imam Abu Muhammad al-Husain bin Mas’ûd al-Baghawi, Tahqîq dan Takhrîj: Muhammad ‘Abdullah an-Namr, ‘Utsmân Jum’ah Dhumairiyyah, dan Sulaimân Muslim al-Kharsy Dâr Thaibah, Th. 1411 H.
11. Tafsîrul-Qur`ânil-‘Azhîm, al-Hafizh Abul-Fida Isma’îl bin ‘Umar bin Katsîr al-Qurasyi, Tahqîq: Sâmi bin Muhammad as-Salâmah, Dar Thaibah, Riyâdh, Cet. I, Th. 1422 H – 2002 M.
12. Taisîrul-Karîmir-Rahmân, ‘Allâmah Syaikh Abdur-Rahmân bin Nâshir as-Sa’di, Dârul-Mughni, Riyadh, Cet. I, Th. 1419 H – 1999 M.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar