Masalah ta’addud (poligami;
atau lebih tepatnya, poligini) merupakan salah masalah yang dunia barat
menyerang Islam dengannya. Padahal mereka biasa melakukan ta’addud dengan
cara yang haram, adapun di dalam Islam mereka ta’addud dengan
cara yang halal.
Syaikh
Utsman Al Khamis –hafidzahullah– seorang ulama dari Kuwait pernah
bercerita kepada saya seorang mahasiswa yang belajar di Jepang. Ia memiliki
seorang dosen wanita anggota gerakan anti poligami. Dosen tersebut udah tua, ia
mengkritik poligami di dalam Islam. Si mahasiswa bertanya tentang hubungan
cinta kasih seorang laki-laki dengan wanita lain selain istrinya dalam bentuk
pacaran (baca: selingkuh), dosen perempuan itu mengatakan, “tidak apa-apa
selama mereka suka sama suka“. Si mahasiswa mengatakan, bahwa itu sama
dengan poligami dalam Islam, hanya bedanya dalam Islam itu terjadi dalam
pernikahan yang sah. Adapun yang kalian lakukan adalah tanpa adanya ikatan
pernikahan.
Demikianlah,
mereka mengkritik Islam, padahal yang mereka lakukan jauh lebih buruk dari apa
yang mereka kritik.
Apakah wanita lebih senang jadi Istri sah ataukah kekasih tanpa ikatan?
Apakah wanita lebih senang jadi Istri sah ataukah kekasih tanpa ikatan?
Poligami pasti menyakitkan Istri pertama?
Dulu
hanya aku yang dicintai, sekarang engkau berbagi
Dulu setiap hari bersama, sekarang hari-hari harus dibagi
Dulu dihatinya hanya aku seorang, sekarang aku tidak lagi sendiri.
Dulu setiap hari bersama, sekarang hari-hari harus dibagi
Dulu dihatinya hanya aku seorang, sekarang aku tidak lagi sendiri.
Begitulah
pikiran saya dulu. Dan ketika saya membaca buku karangan Syaikh Mustafa As
Siba’i rahimahullah, kalau tidak salah judulnya Al-Mar’ah
Wal Qanun (Wanita dan Undang-undang), saya memahami bahwa ta’addud menyebabkan
mudharat bagi istri pertama. Tetapi karena masalahatnya lebih besar, berupa
kebaikan bagi istri kedua, kebaikan bagi masyarakat secara umum, seperti
seorang janda ada yang menikahinya dan menanggung hidupnya dan anak-anaknya,
maka Islam membolehkan. Jadi karena kemaslahatannya lebih besar dari madharat,
kebaikannya lebih banyak dari keburukan.
Namun
hal itu berubah seketika. Saya pun akhirnya mengetahui kalau ta’addud itu
adalah maslahat dan kebaikan bagi istri yang pertama juga.
Begini
ceritanya…
Saya
pergi ke kampus sambil mengendarai mobil jadul saya. Biasanya sambil menyetir
saya mendengar radio Idza’atul Quran atau ceramah dan
pelajaran dari para ulama lewat mp3. Dari pada kesal sama sopir-sopir Saudi di
lampu merah lebih baik dengar yang bermanfaat. Karena banyak orang Saudi kalau
nyetir itu semau gue, jalan raya dianggapnya shahra‘
(padang pasir).
Waktu
itu di Idza’atul Quran ada Syaikh Said bin Musfir Al-Qahtani –hafidzahullah–
seorang da’i terkenal di Saudi Arabia. Syaikh Said bercerita tentang seorang
perempuan yang menelpon beliau sambil menangis. Apa gerangan yang terjadi?
Ternyata ia dimadu, bukan manisnya madu yang dirasa tapi pahitnya empedu,
karena pahit tak tertahan lagi, air mata mengalir sendiri.
Syaikh
bertanya kepadanya, “Apakah kamu senang suamimu berzina dengan perempuan
lain atau menikah dengannya?”
“Menikah,” jawabnya.
“Bukankah kamu setiap hari sibuk mencuci, memasak, mengurus anak-anak dan mengatur rumah tangga?”
“Iya”
“Apakah merupakan sebuah kesalahan jika tugasmu itu dibagi dengan saudari muslimahmu, sehingga engkau pada hari yang suamimu tidak berada bersamamu, engkau bisa berpuasa sunnah yang mungkin sudah kamu tinggalkan karena mengurus suamimu, membaca Al-Quran yang banyak terhalang oleh pekerjaanmu, shalat malam yang tak bisa kau lakukan karena bersama suamimu“.
“Menikah,” jawabnya.
“Bukankah kamu setiap hari sibuk mencuci, memasak, mengurus anak-anak dan mengatur rumah tangga?”
“Iya”
“Apakah merupakan sebuah kesalahan jika tugasmu itu dibagi dengan saudari muslimahmu, sehingga engkau pada hari yang suamimu tidak berada bersamamu, engkau bisa berpuasa sunnah yang mungkin sudah kamu tinggalkan karena mengurus suamimu, membaca Al-Quran yang banyak terhalang oleh pekerjaanmu, shalat malam yang tak bisa kau lakukan karena bersama suamimu“.
Sebulan
kemudian…
Kriing,
kriing… telepon berbunyi. Ternyata wanita
yang sama menelepon lagi.
“Apakah
Syaikh masih ingat saya? Saya adalah perempuan yang menelpon Syaikh, yang
mengadukan suaminya yang telah menikah lagi”
“Apakah yang terjadi?“, tanya Syaikh.
Perempuan itu bercerita bahwa kini ia merasa bahagia, kemudian perempuan itu berkata, “Saya memilki satu permintaan?”
“Apakah itu?”
“Engkau menasehati para istri agar menyuruh suaminya kawin lagi!”
“Kalau itu permintaannya, saya tidak mau mengabulkannya“, jawab Syaikh Said bin Musfir Al-Qahtani.
“Apakah yang terjadi?“, tanya Syaikh.
Perempuan itu bercerita bahwa kini ia merasa bahagia, kemudian perempuan itu berkata, “Saya memilki satu permintaan?”
“Apakah itu?”
“Engkau menasehati para istri agar menyuruh suaminya kawin lagi!”
“Kalau itu permintaannya, saya tidak mau mengabulkannya“, jawab Syaikh Said bin Musfir Al-Qahtani.
Saya
akhirnya mengetahui kalau ta’addud itu adalah baik untuk istri
pertama, kedua dan masyarakat pada umumnya. Bahasa Indonesia memang hebat
memberi nama “DIMADU”, karena memang manis buat istri pertama…. Ya tentunya,
kalau di-manage dengan baik dan dijalani dengan ikhlas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar